Mohon tunggu...
M. Fakhri S
M. Fakhri S Mohon Tunggu... Lainnya - Lilin kecil ditengah lorong kegelapan.

a student at Muhammadiyah University of Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Perpres No. 10 Tahun 2021: Sebuah Pragmatisme Ekonomi

2 Maret 2021   19:09 Diperbarui: 2 Maret 2021   19:39 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang dewasa ini semakin berkembang. Pengaruh aliran filsafat ini meluas hingga ke berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali ekonomi. Singkatnya, pragmatisme ialah aliran filsafat yang menitikberatkan dampak dan faedah praktis. Anjrah Lelono dalam tulisannya 'Ekonomi Indonesia yang Pragmatis', mengemukakan bahwa pragmatisme ekonomi adalah suatu pandangan bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan masyarakat, kegiatan-kegiatan ekonomi lebih berguna dan berdampak secara langsung dengan mengesampingkan prinsip-prinsip kenyataan dan aktual (realitas).

2 Februari 2021, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, regulasi tersebut menjadi sorotan publik dan ramai menjadi bahan diskusi masyarakat di media sosial khususnya, mulai dari kalangan agama, tokoh-tokoh pakar di bidangnya, hingga pegiat media sosial. Tak jarang, secara individual maupun kolektif saling melontarkan tanggapan bernada kritik maupun apresiasi disertai argumen terhadap regulasi tersebut.

Mayoritas masyarakat yang terdiri dari kalangan agama, pakar dan pegiat media sosial bersikap kontra dengan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 karena dalam Lampiran III nomor 31-33 secara eksplisit melegalkan investasi Bidang Usaha industri minuman keras di beberapa Provinsi. Adapun persyaratan yang mengatur bidang usaha miras yang tertera dalam Lampiran tersebut adalah: a) Untuk Penanaman Modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provonsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat; b) Penanaman modal diluar huruf a, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan Gubernur.

Tak berhenti disitu, dalam Lampiran III nomor 44 dan 45 secara eksplisit juga melegalkan perdagangan eceran maupun eceran kaki lima minuman keras beralkohol, dengan persyaratan sebagaimana terlampir yaitu: a) Jaringan distribusi dan tempatnya khusus. Dari poin-poin regulasi diatas, praktis kebijakan itu mengundang polemik dari berbagai pihak karena secara garis besar regulasi tersebut banyak mendatangkan kerugian dibandingkan manfaatnya.

Perlu diketahui, dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2014 bidang usaha industri minuman mengandung alkohol masuk dalam daftar bidang usaha yang tertutup untuk pengawasan modal. Kini, industri minuman mengandung alkohol dilegalkan dengan persyaratan tertentu seiring Jokowi meneken Perpres Nomor 10 Tahun 2021.

Jika berbicara budaya dan kearifan setempat, Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak tegas Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang melegalkan penyakit sosial ini dan terbukti merusak para generasi muda Papua. 

DPW Partai Kebangkitan Bangsa Papua juga tersinggung terhadap cuitan Denny Siregar yang mengatakan Miras adalah budaya masyarakat Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Denny siregar sendiri menurut pendapat ramai merupakan penyembah istana yang sering membuat kontroversi-kontroversi. Dari keterangan diatas, menjadi suatu cerminan bahwa Miras bukanlah budaya orang Papua.

Bisa kita cermati, pemerintah dengan semangat praktisnya yakin mensejahterakan masyarakat dengan melegalkan minuman keras sebagai suatu bidang usaha dengan mengabaikan norma, kaidah, dan tentunya dampak jauh kedepannya. Bukan rahasia umum, suatu perundang-undangan tidak lepas mengandung kepentingan dari bebagai pihak. Secara garis besar regulasi tersebut banyak mendatangkan kerugian yang berkepanjangan dibandingkan manfaatnya yang bisa dibilang bersifat sementara.

Saya tidak berbicara lebih jauh, karena Presiden Jokowi tadi telah mencabut Perpres No. 10 Tahun 2021 (mungkin) karena setelah mendapat banyak sekali desakan dari kalangan agama dan tokoh lainnya, termasuk Wakil Presiden kita Ma'ruf Amin. 

Tidak bermaksud menggurui, mungkin Bapak Jokowi perlu belajar dari pengalaman ini, bahwa sebelum meneken suatu Perpres yang bersifat sensitif dalam hal ini, bapak harus mampu berfikir akibat jangka panjangnya seperti apa, tentu juga butuh pendapat dari Wakil Presiden yang notabene seorang alim ulama agar terlihat saling sinergis. 

Jika tidak, ditakutkan menjadi sebuah kontoversi yang berakibat timbul stigma negatif terhadap beberapa individu maupun kelompok. Kabar burung, regulasi ini sengaja diteken agar menjadi sebuah kontroversi, lalu diberitakan dan akhirnya kontorversi ini mereduksi dan akhirnya menutupi kengerian berita-berita sebelumnya, contohnya korupsi bansos mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun