Dewasa ini, kondisi demokrasi di Indonesia semakin mengalami kemunduran tak terkecuali dalam ranah kampus. Hal ini ditandai dengan dibungkamnya kebebasan kritik dan mengungkapkan aspirasi. Para elite-elite kampus lebih suka menggunakan cara yang represif dalam menyelesaikan persoalan kemahasiswaan daripada cara demokratis.Â
Para individu maupun kelompok ini begitu mudahnya dilaporkan ke pihak berwajib dengan pasal karet, dan pihak berwajib ini reaktif sekali mengusut ketika para elite-elite ini merasa terganggu.
Sebagai contoh Oktober lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang akan menggelar diskusi terkait isu Papua dibubarkan paksa oleh aparat. Bahkan, LPM tersebut juga diancam akan dibubarkan oleh otoritas kampus.
Ada lagi kasus pertengahan Juli kemarin, yaitu penjatuhan sanksi skors dan drop out kepada para mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) Jakarta yang mengikuti demonstrasi mengkritisi kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi Covid-19.
Kasus-kasus semacam ini tak hanya menimpa para mahasiswa, pada dosen pun terjadi. Seperti seorang dosen Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) yang divonis tiga bulan penjara karena diadukan ke pihak berwajib oleh dekanat sebab mengkritik terkait rekruitmen CPNS di Fakultas Teknik tersebut.
Diberangusnya kebebasan berfikir dan berekspresi dalam ranah kampus mengingatkan kita pada zaman orde baru, bedanya pada era orde baru yang membungkam adalah militer.Â
Dewasa ini, malah otoritas kampus yang menggunakan kekuasaannya untuk mengancam kebebasan berpendapat para mahasiswanya. Hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi.
Meskipun reformasi telah berjalan 22 tahun, namun kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan diintervensi jalur hukum oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Jika hal ini masih berlanjut, maka Indonesia benar-benar darurat akal sehat.
Otoritas kampus tidak seharusnya menggunakan cara represif untuk menyelesaikan persoalan kemahasiswaan, itu cara primitif. Dan tidak semua penyelesaian persoalan diselesaikan dengan jalur hukum jika hanya terkait ranah kritik dan berpendapat. Hal itu tidak menyelesaikan masalah, justru terlihat mengamputasi ranah kebebasan.
Jika ruang-ruang berpendapat dan berekspresi semakin menyusut, maka apa lagi yang diharapkan dari kampus sebagai benteng terakhir demokrasi. Alam kampus yang harapannya menjadi alam demokratis kini menjadi alam yang paling represif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H