Sosok Herry Wiriawan baru-baru ini menggemparkan Indonesia baik dalam dunia nyata ataupun dalam dunia maya. Sosoknya dikutuk oleh masyarakat Indonesia karena mencabuli 13 Santriwati yang merupakan muridnya sendiri, perilaku Herry Wiriawan ini membuat masyarakat marah dan menginginkan sosok Herry dihukum seberat-beratnya seperti hukuman mati, atau hukuman kebiri kimia kepadanya. hingga pada tanggal 15 Februari 2022 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Bandung memvonis hukuman penjara seumur hidup kepada pelaku. Arti dari hukuman pidana penjara seumur hidup ini adalah berarti bukan berdasarkan umur terdakwa dia dipenjara tetapi berarti bahwa terdakwa dipenjara selama hidupnya hingga terdakwa meninggal dunia. Hal ini menurut penulis lebih tepat dibanding hukuman mati ataupun hukuman kebiri kimia, Mengapa?
      Hukuman mati merupakan hukuman yang menurut penulis sangat melanggar hak asasi manusia, karena menghilangkan hak hidup seseorang. Sedangkan hak hidup ini merupakan hak yang bersifat tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (Underogable Rights). Indonesia juga telah meratifikasi berbagai macam konvensi tentang hak asasi manusia, salah satunya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menentang hukuman mati, dalam sistem hukum nasional pun dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28i ayat (1) menjelaskan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ini berarti bahwa sebenci apapun kita kepada seorang penjahat, seorang penjahat juga masih tetap manusia yang harus dihargai hak asasi manusianya.
      Selain itu masyarakat juga menginginkan Herry divonis hukuman kebiri kimia, kebiri kimia sendiri merupakan suatu pidana tambahan dengan menyuntikan zat kimia anti androgen kepada tubuh manusia yang bertujuan untuk mengurangi kadar testosteron sehingga dapat mengurangi libido dari pelaku untuk melakukan kegiatan seksual. Dari definisi tersebut, hukuman kebiri kimia merupakan pidana tambahan, hal ini berarti ada pidana pokoknya yaitu pidana penjara sementara waktu, yang berarti pelaku kejahat seksual anak yang bejat ini masih bisa berkeliaran setelah pidana penjaranya selesai. Pelaksanaan kebiri kimia ini jika melihat dalam hukum postif Indonesia dilaksanakan secara temporal yaitu sementara waktu, maksimal sampai 2 Tahun. Setelah menjalani pidana pokok dan pidana tambahan terdakwa tersebut dapat beraktivitas seperti biasa, dan memungkinkan bertemu atau berpapasan dengan korban yang masih mengalami trauma psikologis karena tindakan bejatnya. Didalam persidangan yang disampaikan oleh majelis hakim dijelaskan bahwa korban mengalami ketakutan ketika mendengar suara terdakwa, melihat wajah terdakwa, bahkan ketakutan ketika mendengar nama dari terdakwa.
      Tindakan kebiri kimia juga dapat memberikan dampak negatif bagi terdakwa, dikutip dari alodokter.com bahwa kebiri kimia dapat menimbulkan beberapa penyakit, seperti osteoporosis, penyakit jantung, dan diabetes. Tak hanya itu, kebiri kimia juga dapat memberikan dampak lain, seperti: Ketidaksuburan. Sensasi rasa panas, berkeringat, dan jantung berdebar. Hal ini tentunya dapat membuat terdakwa merasa tersiksa karena adanya efek dari kebiri kimia ini. Pelaksanaan tindakan kebiri kimia juga menimbulkan banyak biaya, dikutip dari detik.com bahwa Diperkirakan butuh biaya Rp 40 juta untuk serangkaian proses kebiri kimia. Biaya 40 juta rupiah itu lebih bermanfaat jika diberikan kepada setiap korban untuk melakukan pengobatan psikologisnya yang terganggu akibat tindakan bejat dari pelaku.
      Didalam sudut pandang hak asasi manusia tidak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Hukum sendiri ada sebagai alat rekayasa sosial agar dapat berperilaku dengan baik, yang mana rekayasa ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, aman, dan dijamin hak asasi manusianya, tidak terkecuali hak bagi para pelaku kejahatan. Penulis sendiri sangat mengutuk tindakan pelaku yang sangat tidak manusiawi, tetapi jika kita juga melakukan hal tidak manusiawi maka kita tidak jauh bedanya dengan dia. Mengutip dari pendapat Mahatma Gandhi, bahwa jika mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Jadi pidana penjara seumur hidup lebih cocok agar orang seperti itu tidak pernah kembali merasakan udara bebas diluar sana sehingga tidak dapat melakukan kejahatan yang sama, dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat luar untuk tidak melakukan kejahatan yang sama, dan bisa jadi ajang muhasahabah diri pelaku untuk bertobat dan menjadi lebih baik lagi. Selain menghukum pelaku, diperlukan juga perhatian dari negara untuk membantu memulihkan trauma korban-korban yang mana korban masih anak-anak, yang mana anak-anak ini merupakan harapan bangsa dan yang melanjutkan perjalanan panjang bangsa ini dimasa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H