Dulu, guru menghukum anaknya dengan berdiri didepan kelas dan mengangkat satu kaki. Lelah, malu, tak jarang ada juga yang diberi pelajaran dengan sekedar memukul supaya tidak mengulanginya lagi. Namun seiring bergeraknya arus pola pikir yang mulai beranjak dari tempatnya, dan ditambah dengan statement tentang kemanusiaan seperti anti-bullying ternyata membuat perubahan cukup signifikan dalam cara mendidik siswa.
Saat ini, guru tidak boleh menghukum anaknya dengan fisik. Bahkan belakangan ini muncul tentang kekerasan verbal dan non verbal. Yang artinya, baik kekerasan fisik maupun secara "ucapan" tidak diizinkan lagi.Bahkan, guru lebih ditekankan untuk tidak menjatuhkan secara mental, namun membangun semangat dan motivasi peserta didik untuk belajar.
Secara teori, peraturan ini adalah sebuah revolusi bagi siswa. Tak hanya orang tua, komunitas anti kekerasan dan perlindungan anakpun menyambut meriah keputusan ini. Namun, tidakkah kita menyadari efeknya?
Hal yang paling kentara adalah hilangnya sikap sopan santun, respect antara siswa dan guru. Tidak jarang kita melihat justru seorang siswa berani membentak, membangkang, bahkan tidak menghormatinya sebagaimana mestinya.Justru hal ini mulai berbalik antara siapa yang membutuhkan. Jika dulu siswa butuh guru, saat ini guru yang butuh siswa. Terkesan guru yang bekerja untuk siswa. Sedangkan pihak siswa sendiri? Bodo amat katanya.
Tak hanya itu, saat ini banyak siswa yang jadi benci gurunya. Karena dia mencontek saat ulangan, lalu dikeluarkan dari ujian, eh malah gurunya dimaki-maki diluar. Di medsos, dia memaki2 guru tsb.Bahkan orang tuapun mendukung. Mungkin karena terlalu mencintai putra/putrinya, sehingga apa yang dikatakan anaknya selalu dianggap benar. Sudah didaftarkan di tempat bimbel ternama, pulang jam 8 malam, eh nilainya masih C+.
Anehnya, kebanyakan orang tua siswa akan menyalahkan gurunya. Mempertanyakan mengapa dia memberi nilai C+. Padahal, anaknya memang yang tidak peduli. Ketika gurunya membuka sesi remedial, si anak justru malah main ke mall.
Karena sering dimanja oleh orang tua seperti dikasih fasilitas mobil (padahal belum punya sim), diperbolehkan pulang jam 2 pagi, dan lainnya. Si anak justru semakin membangkang. Dimulai dari merokok dan akhirnya ketagihan ngefly. Dimulai dari pacaran dan clubbing setiap malam, dan akhirnya hamil diluar nikah. Yang pada akhirnya sang orang tua menyalahkan pihak sekolah dan sistem pendidikan yang ada. Karena mereka terlalu sibuk untuk mendidik anaknya. Ujung-ujungnya? Si orang tua akan menuntut pihak sekolah agar memberikan pendidikan moral kepada peserta didik.
Fenomena ini terus terjadi dan mengakibatkan tidak adanya respect antar manusia. Jangankan yang lebih tua, sesama usia saja saat ini generasi kita terlalu banyak mencaci, mencaci di medsos. Hal ini menjadikan manusia menjadi individualis.
Sistem pendidikan kita memacu siswa untuk individualistis dan apatis. Seharusnya, pendidikan seperti pelajaran yang diberikan guru dengan menghukum secara fisik tidak seharusnya dihapus secara total. Namun lebih dibatasi dan diukur takarannya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap anak didik nantinya.
Selain itu, yang perlu ditekankan seharusnya bukan melulu akademik, tapi moral. Indonesia tidak kehabisan orang pintar dan cerdas. Namun indonesia minim orang bermoral. Itulah sebabnya banyak orang cerdas di negeri ini. Namun serakah untuk dirinya sendiri.
Saya yakin, yang menjadikan bangsa ini maju adalah siapa yang dengan tulus dan ikhlas akan membangun negeri ini. Pelajaran budi pekerti seperti itu harusnya jadi materi pokok dalam sistem pendidikan kita. Setidaknya dengan adanya orang bermoral di negeri ini, kasus korupsi akan sedikit teratasi.