Dalam hal agama, fanatisme begitu kental. Orang-orang yang diluar golongannya dicap sebagai kafir. Begitupun dalam konstelasi politik, persaingan antar kubu menjadikan perpecahan pada para pengikutnya. Perang opini dalam media sosial begitu gencar dilakukan antar kubu. Dengan tujuan mencapai kursi tertinggi dan nomor satu.
Berbagai problematika kehidupan dewasa ini menjadikan kita puyeng. Kita digiring kesana-kemari bagaikan itik yang digembala oleh tuannya. Tak jarang, banyak yang terserap kedalam riuh kegaduhan saat ini. Menjadikan lebih menyukai kesenangan tubuh kebendaan duniawai atau yang kerap disebut materialistis.
Maka, cara untuk mengahadpi berbagai persoalan saat ini adalah dengan kembali menghadirkna sosok "Si Kabayan". Sosoknya yang mencerminkan manusia yang tidak terserap dalam gelagak kursi kekuasaan dan kesenangan kebendaan, ia mampu mengontrol harta, dan tidak sebaliknya.Â
Si Kabayan merupakan manusia yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari kebenaran, walalupun dia harus berperan menjadi dukun dan jurig.
Aksi-aksi itu ia perankan dengan rasa jenaka. Jenaka dan rasa humor nampaknya dijadikan sebagai media bukan hanya sebagai pelepasan untuk menghibur diri, mengkritik orang lain, namun justru mengkritisi diri sendiri.Â
Utuy T. Sontani menyebutnya sebagai "manusa anu geus teu nanaon ku nanaon". Ia adalah manusia yang selalu berada dititik moderat, ngajegang antara ekstrim kiri dan ekstrim kanan.Â
Maka dengan kembali menghadirkan sosok "Si Kabayan" di era milenial ini, menjadi solusi atas problematika manusia. Segalanya dibarengi dengan sederhana, jenaka, namun kritis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H