Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia

3 November 2018   21:02 Diperbarui: 3 November 2018   21:05 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Warna putih bermotif mawar merah, berisikan air keruh namun manis, kotor namun wangi. Diangkat perlahan lewat cangkleknya, lantas bibir pun melumat, mengecup tenang, nikmat. Seraya disimpannya kembali secara perlahan. Aku, sebuah gelas yang jatuh cinta terhadap manusia.

Namun, bukan berarti manusia semuanya. Aku hanya jatuh cinta kepedanya. Dia yang selalu datang tiap malam kelima dalam seminggu. Selalu perlente, necis, serta idealis. Lantas yang membuatku jatuh cinta padanya, bukan lantas karena tampilanya yang perlente itu. Tapi, cara dia memperlakukanku. Jemarinya yang halus, aroma nafas yang hangat. Membuatku tak mau dan tak rela ada bibir lain mengecup, hanya ingin dia. Untuknya!.

Aku tak rela bilamana dia datang ke caf ini, lalu memesan kopi dengan gelas lain. Ada ratusan gelas di caf ini. Tapi aku tak mau membiarkan yang lain bertemu melayaninya. Sesaat pelayan akan mengambil gelas, aku tak kuasa mendorong dan menyiku, kawanan gelas yang lain. Bila dia yang memesan, harus akulah yang melayaninya, jikalau orang lain, tak masalah bagiku. Aku rela menyeret kawan gelasku hingga jatuh dan pecah lantas tewas.

Di rak gelas. "kau harus menghormati yang lebih tua darimu!". "Kenapa mesti begitu?". "Lihat para orang tua itu, mereka sudah retak-retak, warnya luntur, dan aroma yang acak!". "caf kita seperti kerja Rodi dan VOC saja. Para pelayan, mereka tak habis pikir dan pilih. Setelah kami dipakai menampung minuman panas, kemudian pula usai itu dipakai minuman dingin". "Bajingan mereka!".

"Sudah berapa yang gugur dalam hari keempat ini?" tanyaku. "tak sedikit. Tadi aku lihat keributan di meja nomor 3, keributan manusia, hingga mengorbankan kawan kita, mereka pecah, bubuk dan diangkut melalui pengki, lalu dimakamkan di tong sampah belakang". "Apa? Manusia katamu? Janganlah kau tendensius begitu kawan. Aku selalu melayani mereka, dan salah satunya dia, si Perlente". "jangan kau berharap cinta pada mereka bung, berhati-hatilah!".

Malam yang dinanti akhirnya pun tiba. Jam tujuh malam dia datang. Dengan jas coklat, serta syal mewah yang melilit di lehernya, begitu necis. Dia duduk di meja belakang nomor delapan. Persis duduk samping jendela yang memvisualkan gemerlap kota. Pelayan pun menghampiri, lantas bertanya apa yang dia pesan.

Sesegera, pelayan tadi menuju rak gelas. "Permisi tuan-tuan saatnya aku bekerja" ucapku. "jangan terlalu riang bung! berhati-hatilah!" sela salah satu kawan gelas. Dan, "Cesss..." rasa panas yang menyerap hingga menimbulkan kebul. Lantas dikoceknya perlahan kopi yang aku tampung untuk dia. Lalu aku pun dihantar oleh pelayan menujunya. Disaat itu pun aku tak kalah necis darinya. Aku elegen pikirku.

Dihidangkannya diriku di mejanya. Aku tak sabar, kembali bercumbu dengannya, lembut jemarinya, wangi nafasnya. Tangannya mulai menyentuh cangklek ku, dan menggenggamnya seraya diangkat menuju bibirnya. Disaat itu pula aku berpapasan dengan syal mewahnya. Lalu bagian ujung syal yang melilit dilehernya bersentuhan dengan kopi yang ku tamping ini, tiba-tiba "Ahh.. tidak, jangan sampai ini kotor!" dan "Praangg..." aku terjatuh di lantai, yang mengakibatkan cangklek ku patah. Namun untungnya hanya cangklek.

Tapi, "Mas pelayan! pesankan aku segelas kopi sama seperti tadi". Aku terkejut, dia lebih memilih pesan kopi dengan gelas yang lain, dan mengelap syal mewahnya itu. Aku dibiarkan terbaring dilantai yang dingin. Serta sapuan menyeret ku kedalam pengki. "Apa aku sudah gugur?". Aku diangkut oleh pengki menuju pemakaman, Namun disaat seketika aku melihnya, dia khusyu mengelap-ngelap syalnya itu. Seraya berkata "Kau tidak boleh kotor sedikitpun, kau berharga buatku" . Lantas, sabdanya terhadap syal itu membuatku benar-benar tewas.

Refleksi atas ucapan Ali Bin Abi Tholib :

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun