Meskipun Soewardi tidak berprofesi sebagai dokter, dalam catatan sejarah, dirinya pernah tercatat sebagai siswa di STOVIA. Menurut Scherer, pengalaman Soewardi di STOVIA membuat dirinya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan sangat unik.Â
Selama menempuh beberapa waktu di sekolah kedokteran tersebut, ia mendapat pengalaman hidup yang berbeda dari biasanya. Ia berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kalangan dengan latar belakang budaya, sosial, dan lingkungan yang berbeda. Bukan hanya itu, ia juga berinteraksi dengan orang-orang Jawa yang sudah bertranformasi dari tradisi kebudayaan istana ke tradisi perkotaan.Â
Atas berbagai interaksi tersebut, seiring berjalannya waktu, rupanya hal ini turut menambah pemikiran Soewardi dalam membela masyarakat Hindia Belanda.
Atas dasar modernitas yang mereka miliki, para dokter bumiputra berperan dalam poros pergerakan kebangsaan. Mereka mendirikan berbagai organisasi di Hindia Belanda dan berperan penting sebagai pimpinan organisasi.Â
Pada kondisi ini, mereka sering melontarkan kritik kepada pemerintah negeri induk dan negeri koloni serta sering menyampaikan gagasannya untuk kemajuan bumiputra di Hindia Belanda.Â
Melalui berbagai media, seperti surat kabar Pawarta Wolanda dan Bintang Hindia, jurnal Retnodoemillah, berbagai organisasi (Jong Java, Boedi Oetomo, Jong Sumatera, Tri Koro Dharmo), hingga parlemen Volksraad, mereka dengan lantang bersuara untuk kemajuan masyarakat bumiputra di Hindia Belanda.Â
Satu hal yang menarik dalam suara lantang para dokter adalah ketika dr. Tjipto, dr. Abdul Rivai, dan dr. Radjiman duduk di kursi parlemen, Volksraad, pada awal 1918. Ketiga dokter bumiputra tersebut menyuarakan dengan lantang berbagai permasalahan sosial yang menimpa masyarakat bumiputra, seperti kurangnya akses pendidikan, medis, dan kemiskinan yang semakin parah.Â
Salah satu yang menjadi pembahasan dokter anggota parlemen tersebut ialah ketika Hindia Belanda 'diserang' Flu Spanyol. Dalam kondisi yang mencekam, pemerintah Hindia Belanda menjadi sasaran kritikan oleh dokter anggota parlemen, dr. Abdul Rivai, karena dianggap abai dalam penanganan pandemi Flu Spanyol.Â
Menurut sejarawan Ravando dalam monograf terbarunya Perang Melawan Flu Spanyol: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Wilayah Kolonial 1918-1919 (2020), Rivai menjadi sosok yang berperan dalam membawa perkara permasalahan penanganan pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda pada setiap sidang Volksraad.Â
Alasannya karena Rivai melihat banyak dari 'kaumnya' (red: masyarakat bumiputra) yang menjadi korban atas 'kegagalan' pemerintah Hindia Belanda dalam penanganan pandemi Flu Spanyol
Dengan modal modernisasi barat yang dimiliki, mereka memulai langkah baru untuk menata kehidupan mereka dan masyarakat Hindia Belanda ke arah yang lebih baik dengan semangat ilmu pengetahuan barat. Awalnya mereka berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bumiputra dalam koridor medis yang mereka kuasai.Â