Nama-nama tersebut berjuang bersama tokoh lainnya dalam melahirkan pemerintahan republik bernama Indonesia sejak dekade 1900 hingga pascakolonial. Namun demikian, pergerakan dokter bumiputra tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa kebanyakan dokter berperan dalam pergerakan kebangsaan? Mengapa para dokter mau bergerak ke ranah politis? Atau apa yang memantik mereka untuk bergerak ke ranah politis?
Saya memulai mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menguraikan kehidupan mereka di STOVIA dan NIAS. Menurut sejarawan Hans Pols, dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019), sekolah kedokteran menjadi 'laboratorium' transformasi masyarakat bumiputra dari budaya tradisional ke modernitas gaya barat.Â
Apabila sebelumnya mereka masih lekat dengan budaya lokal yang dianutnya, setelah menempuh pendidikan di sekolah kedokteran tersebut mereka bergerak dari lingkup tradisional ke arah modernitas barat. Mereka menganggap pemikiran akan modernitas barat dapat membawa dirinya dan masyarakat bumiputra secara keseluruhan ke arah kemajuan dan kebanggaan budaya.
STOVIA dan NIAS sebagai sekolah gaya barat tentu saja membawa nilai-nilai modernitas barat di dalam pembelajarannya yang jelas memengaruhi pemikiran para pelajar.Â
Modernitas barat tersebut berada dalam suasana pembelajaran terkait pengetahuan dan keterampilan kedokteran serta pembelajaran mengenai berbagai masalah kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya, dan spiritual berdampak terhadap perubahan pemikiran pelajar.Â
Mereka menjadi lebih peka terhadap berbagai masalah serta menjadi lebih progresif dalam hal sikap temperamen, orientasi kognitif, gaya emosional, dan perilaku.
Dalam penelitian lainnya, rupanya bukan hanya faktor internal STOVIA saja yang membuat ia dikatakan sebagai 'laboratorium' transformasi. Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 (1989), mengatakan bahwa faktor lingkungan sekitar STOVIA turut menentukan munculnya intelektual muda.Â
STOVIA yang berada pusat kota, di Weltevreden (sekarang kawasan Jalan Medan Merdeka), membuat sekolah tersebut ramai dengan hiruk pikuk kehidupan masyarakat perkotaan yang penuh dengan orang pendatang dari luar Batavia. Akibatnya timbul interaksi dengan berbagai pendatang, sehingga membuat para pelajar saling bertukar gagasan mengenai banyak hal.
Hal tersebut bisa dilihat pada kehidupan dr. Abdul Rivai (1871---1937) yang merupakan lulusan pertama sekolah kedokteran, STOVIA, di Batavia. Rivai yang berasal dari Minangkabau dengan budaya tradisional yang kental dan melekat pada dirinya memandang STOVIA sebagai batu loncatan untuk menjadi modern.Â
Menjadi siswa STOVIA mengubah dirinya menjadi ambisius, sangat berpikir modern dan meyakini bahwa kekuatan pengetahuan akan membawa Hindia Belanda ke arah kesejahteraan yang lebik baik.
Selain itu, kisah kehidupan pelajar STOVIA yang berubah menjadi 'modern' dapat dilihat pada kisah Soewardi Soerjaningrat (1889---1959) sebagaimana dipaparkan oleh Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Nasionalis Jawa Awal Abad XX (1985).Â