Ia duduk di bawah hamparan kenangan yang diseduh dari  sepahit cangkir kopi dan buku yang hampir selesai dibaca.
Rantau 40 judul buku itu, tentang kisah perantau yang mengarungi empat pulau, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua.
Tujuan merantau adalah cara untuk melupakan 40 wajah dan nama orang yang dilukai dengan menjelajahi gunung-gunung yang ada di keempat pulau itu dengan memeluk kesunyian.
Dan di atas gunung-gunung itu si perantau terngiang-ngiang perkataan Emha Ainun Nadjib, "Hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua."
Orang-orang merantau berkeinginan memperbaiki ekonomi, memiliki ilmu atau mengubah nasib tapi si perantau tidak. "Perantau aneh," ia membatin. Lalu, Ia membaca tekun pembagian periode per sepuluh tahun si perantau.
Periode 10 Tahun Pertama; Ibu Meregang Nyawa dan Cinta ayah.Â
Ia dilahirkan di pengujung bulan dan tahun dengan si ibu berjuang antara hidup atau mati. Ibu memekik kuat dengan sepenuh tenaga mendorong supaya bayi lahir dengan selamat.
Tangisan bayi memecah ujung bulan dan tahun di klinik bidan itu yang disambut jeritan pilu ayah dan tangisan bidan karena ibu meregang nyawa di usia 40. Â Ari-ari bayi si perantau dan kuburan ibu berdampingan.
Ia hidup dengan ayah yang memilih untuk menutup rapat hati bagi perempuan lain sampai ajal datang.
Periode 10 Tahun Kedua; Kuburan Rantau.