Tamu intelektual ini bercerita permasalahan kampus tempat ia mengabdi.
Ia bercerita kepada Bapak tentang tridharma perguruan tinggi, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang timpang.
Pengajaran dosen yang bolong-bolong, menepikan jiwa pendidik, setelah mengajar kuliah lalu pulang. Sehingga tak lekat dekat dengan mahasiswa. Tipe ini ia sebut dengan dosen kuliah pulang (doku).
Penelitian yang bermotif tuk kenaikan pangkat dan materi. Judul dan masalah yang diteliti jauh dari persoalan keseharian masyarakat sehingga tak bermanfaat. Bahasa yang rumit dan susah dimengerti agar dianggap ilmiah.
Pengabdian masyarakat dengan program studi yang ada tak nyambung. Miskin inovasi. Padahal beberapa program studi bisa connect ke sekolah-sekolah atau desa-desa. Istilahnya pengabdian masyarakat berbasis sekolah atau desa.
Semakin larut malam, tamu intelektual semakin semangat bercerita kepada Bapak segala persoalan kampus. Bak beratus-ratus muntahan peluru senjata AK 47 membombardir target sampai hancur remuk.
Bapak hanya menjawab singkat, "Bapak kan pejabat kampus dan kekuasaan di tangan. Kenapa tidak bisa berbuat apa-apa. Aneh"Â
Di sambung lagi oleh Bapak, "Bapak pejabat, umpama punya pistol ditangan dengan banyak peluru tapi bingung mau ditembakkan kemana. Bukankah Bapak dulu berkeinginan menjadi pejabat dan telah buat segudang konsep. Setelah terpilih tak tahu mau apa."
Tamu intelektual lemas tertunduk dengar jawaban Bapak. Wajahnya kuyu dan berkerut kening 50 kali kerutan.
Tamu intelektual selesai bertamu ketika bulan malam berganti matahari pagi. Tapi di atas kepalanya, awan mendung masih menggayuti. Dan awan pagi bergambar rupiah memayungi kampus dimana ia mengabdi. Â Â
Tiga hari sesudahnya Bapak berkisah kepada ku tentang tamu intelektual yang datang jam sebelas malam. Â Di sore hari sambil duduk santai berkawan kopi hitam dan memperhatikan kangkung hidroponik di beranda depan rumah. Â Â