Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ke Manakah Tujuan Cinta?

4 Maret 2019   23:44 Diperbarui: 5 Maret 2019   00:52 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by Pixabay.com)

Novelis James Redfield dalam Manuskrip Celestine --The Celestine Prophecy, mengurai prinsip-prinsip cinta dengan teori tentang energi. Ia mengemukakan, galaksi dengan segala isi dipandu oleh energi kasih sayang, sehingga masing-masing beredar pada energi yang maha. Dalam novel filsafat ini energi yang maha tersebut adalah adalah Tuhan.

Dalam perjalanan kehidupan manusia selanjutnya lambat laun energi kasih sayang dan cinta tersebut mulai memudar di hati manusia. Ia mengalami erosi, degradasi, reduksi dan segala bentuk penamaan istilah yang di pakai untuk memberikan gambaran tentang lenyapnya kasih sayang, cinta kasih, kemesraan dan rupa lainnya. Bahkan ia mengalami pembalikkan makna, tujuan dan orientasi.

Terjadinya hal-hal di atas di alamatkan kepada abad modern. Abad modern dimulai pada tahun 1800 M. Ini mengacu kepada hasil-hasil yang dicapai Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, industri dan lain sebagainya. Identitas yang dikenal pada masa ini adalah antroposentris. Sebuah paham atau pernyataan yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ini berbeda dengan identitas pada Abad Pertengahan yang Teosentris (Tuhan sebagai ukuran kebenaran bagi segala sesuatu).

 Menurut Sayyed Hossein Nasr, karakteristik dunia modern adalah; Pertama, antroposentrisme dalam pengertian lokus semesta diderivasikan (dialamatkan) pada manusia yang dijadikan ukuran. Kedua, karena ukuran yang dipakai manusia modern adalah dunia yang tidak memiliki prinsip-prinsip yang langgeng dan abadi dan tetap serta yang lebih tinggi dari yang manusiawi maka muncullah relativisme dan reduksi terhadap apa yang dihasilkannya. Standar objektivitas hanya dapat dikenali bila menggunakan standar yang lebih tinggi. Ketiga kehilangan kepekaan terhadap sesuatu yang sentral. Keempat, hilangnya aspek metafisika. (A. Khudori Saleh, 2003: 390).

Ketiga karakteristik dunia modern yang disebutkan diatas oleh Seyyed Hossein Nasr menimbulkan persoalan bagi kehidupan manusia modern selanjutnya. Beberapa contoh yang bisa diberikan seumpama setiap hari didengarnya berita-berita tentang perang dan kekerasan. Terjadi pembantaian manusia atas manusia. Penindasan dan ketidakadilan setiap hari muncul di koran dan televisi. Perang di Irak, Palestina dan diberbagai belahan negara lainnya.

Gambaran-gambaran peristiwa di atas terkesan membenarkan apa yang dinyatakan oleh Thomas Hobbes-seorang filosof beraliran empiris-bahwa manusia adalah serigala atas manusia lain (homo homini lupus). Padahal manusia memiliki sisi lain seperti cinta, suka kedamaian dan kasih sayang, dan tenggelam dalam pemberitaan yang menyudutkan manusia identik dengan kekerasan. Timbul kepesimisan bahwa dunia yang damai bisa dibangun atas dasar cinta kepada Tuhan dan sesama manusia. Perubahan tata nilai di tengah-tengah masyarakat juga menjadi pemicu.

Bagi manusia modern, segala hal nyaris diukur dengan materi dan untung rugi. Selanjutnya, manusia direduksi menjadi sebentuk materi. Ia pun selalu dikejar target, karier, kekuasaan, popularitas dan lainnya. Seseorang diukur dari apakah ia menguntungkan atau tidak, apakah memberi kontribusi bagi kemapananya ataukah tidak. Bahkan yang lebih lagi, terutama di kalangan anak muda, seringkali cinta menjadi tereduksir maknanya ketika dikaitkan dengan keterkaitan antara dua lawan jenis yang kemudian dilembagakan menjadi hubungan pacaran. Maka makna cintapun menjadi miopik saat seseorang dengan mudah mengatakan: "Aku cinta padamu." Apalagi, cinta itu pun dengan mudah pula berubah menjadi benci dan dendam saat keinginan untuk menjadikan pacar tidak terpenuhi. Ironis bahwa ia terjadi ditengah-tengah kemajuan yang dialami manusia modern. Manusia modern tidak hanya orang yang berada di Eropa, Amerika beragama non-Islam tapi juga orang-orang yang beragama Islam.

Padahal berbagai agama mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Tidak mudah memang untuk mengarahkan cinta kepada yang Maha Tunggal, beragam bentuk ekspresi lahir baik secara lisan maupun tulisan. Dan salah satunya adalah puisi. Dalam puisi kata-kata yang dirangkai mempunyai kekuatan makna yang selalu menarik untuk diselami kata perkata bahkan secara keseluruhannya.

Puisi pun berbicara tentang cinta tidak dalam bentuk yang tunggal (monolitik) tapi jamak bahkan multiinterpretatif (banyak tafsir). Tujuan objek cinta tak hanya ditujukan pada lawan jenis dalam puisi tapi juga cinta tanah air, cinta kehidupan, cinta pada kampung, ibu dan lain sebagainya yang tentunya cinta dalam artian universal. Tapi ada juga puisi-puisi yang tujuan cintanya adalah kepada Tuhan.

Pengertian Cinta

Cinta: berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu citta, yang berarti " yang selalu dipikirkan; senang; kasih." (Abdurrasyid Ridha, 2004: 13). Dalam kamus Poerdawodarminta, disebutkan bahwa: "Cinta adalah selalu teringat dan terpikir dalam hati, lantas berarti:rasa susah hati;rindu, sangat ingin bertemu; sangat suka, sangat sayang; sangat kasih dan sangat tertarik hati."(Ibid)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun