Puisi ditulis bukanlah semata untuk memaparkan realitas atau berdalam-dalam di kata bermakna. Lebih jauh, ia sejatinya merupakan ketersingkapan (mukasyafah) ruh si manusia puisi untuk hadirkan rasa kebertuhanan di segenap aktivitas_ JR_
Dua Peristiwa Bermakna
Peristiwa pertama, saya membaca buku "Menyingkap Rahasia Yang Tersembunyi" karangan Annemarie Schimmel yang bercerita tentang rahasia yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa puisi para pencari Tuhan dan pecinta Tuhan (sufi). Timbul pertanyaan, apa hubungan puisi dengan Tuhan?. Itu terjadi tahun 2009.
Peristiwa kedua, saya duduk di bangku paling belakang melihat peserta membacakan puisi dalam lomba baca puisi di acara Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) STAIN Curup-sekarang jadi IAIN Curup-. Puisi dibacakan oleh mahasiswa dengan penekanan estetik beragam. Saya merasakan Tuhan hadir dengan bergetarnya hati dalam pejaman mata. Ini kejadian 2015.
Beberapa pertanyaan muncul di benak saya seputar puisi. Mengapa puisi masih ditulis dan dibaca? Apakah hubungan manusia dengan puisi dan apa pula hubungan puisi dengan Tuhan? Apa yang mengkhawatirkan sekarang adalah keterhubungan puisi dengan Tuhan dan keterhubungan puisi dengan masyarakat mulai memudar.Â
Komitmen ketuhanan dan komitmen kemanusiaan puisi dipertanyakan. Sejauhmana puisi memberikan manfaat juga dipertanyakan seperti nasi yang dimakan orang kala lapar dan langsung membuat kenyang.
Diantara puisi dicipta untuk makanan ruh/jiwa manusia sehingga tersadarkan oleh kata-kata (puisi) serta melaparkan si manusia yang memerlukan kata-kata sebagai kekuatannya untuk bertahan hidup supaya menemukan makna-makna di setiap peristiwa hidup yang di alaminya.
Mengapa Puisi Masih Ditulis?
Atas dasar apa sebuah puisi lahir? Mengapa puisi serasa mempunyai kekuatan bagi sebagian orang menyelami maknanya, menuliskan dan membacanya kata perkata? Kenapa Alqur'an mampu menggeser puisi Arab jahiliyah yang mempesonakan masyarakat ketika itu?Â
Puisi adalah penghayatan terdalam dan mencekam seluruh daya keinsanan si manusia yang dicarikan dan diungkapkan bentuknya dalam rupa kata-kata dengan merangkainya kepada manusia, alam, dan Tuhan. Atau puisi juga bermakna ungkapan perasaan atau pikiran dalam suatu bentuk yang menyatu dan utuh. Dengan lain kata, puisi adalah seni merangkai kata-kata, seni menciptakan keajaiban dalam berbahasa-mengutip Acep Zamzam Noor-.
Teopuitik: Puisi BerkeTuhanan.
Di Islam segala kegiatan manusia dibingkai dalam tauhid-mengesakan Allah dalam bentuk apapun-Tauhid kemudian diaplikasikan di kehidupan yang dijalani orang-orang yang menyatakan beragama Islam (muslim). Islam bermakna kepasrahan, ketundukan dan kedamaian.Â
Sayangnya si manusia muslim dalam menjalani keseharian hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan ia jauh dari Tuhan. Ada beragam cara untuk menggugah kesadaran si manusia muslim supaya kembali mendekatkan diri kepada Tuhan dan puisi dapat melakukan itu.
Puisi yang berisi bahasa kata untuk menyadarkan kembali si manusia ingat dan dekat pada Tuhan. Saya menyebutnya dengan Teopuitik. Memberikan arti teoputik dapat di dekati dengan melihat karakterisasi puisi yang menyentuh kemanusiaan untuk dilihat kembali dalam bingkai keilahian atau ketuhanan.Â
Puisi tak lagi sekedar keajaiban bahasa yang dirangkai kata-kata untuk diajadikan kritik sosial, krirtik pendidikan, kritik budaya, krititk hukum, kritik ekonomi, kritik politik, kritik keagamaan dan lain sebagainya.
Puisi berjudul "Sekolah" yang dibuat oleh Emha Ainun Nadjib-sapaan akrab Cak Nun-mendekatkan puisi dengan realitas dunia pendidikan -puisi sebagai kritik pendidikan-. "Seribu sekolah/Seribu universitas/Tak paham manusia/Seribu ilmu/Seribu pengetahuan/Salah memandang dunia".
Teopuitik berbeda dengan puisi di atas tersebut. Ia lahir bersebab kurangnya perhatian puisi-puisi untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Teo berarti Tuhan sedangkan puitik disamakan dengan puisi. Untuk menyebut beberapa nama yang puisinya dikategorikan teopuitik dan sudah tergoda oleh estetika teopuitik. Untuk menyebut beberapa nama; Hamid Jabbar dengan puisinya "Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah" dan "Doa Terakhir Seorang Musafir". Sutardji Calzoum Bachri dengan judul puisinya "Berdepan-depan denga Ka'bah". Acep Zamzam Noor, Zawawi Imron, Kuntowijoyo.
Ini teopuitik karya Kuntowijoyo "Makrifat sungai pohon/Makrifat bunga mawar/Makrifat batu-batu/Merangkai tasbih danau/Melebur danau jadi kemilau/Melebur ruh jadi aku/Melebur aku jadi nafas-Mu". Atau seperti karya Ismed Nasir "Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: mudah-mudahan ada Kau (Tuhan)".
Dunia perpuisian tak hanya semata-mata sebagai rupa-rupa kata yang mencerminkan realitas sosial dan realitas lainnya, pun bukanlah semata dunia kreativitas. Lebih dari itu, ia mesti tidak menjauh dari Tuhan sebagai Sang Pencipta (khaliq) yang awal mula memberikan kata-kata pada makhluk (orang yang diciptakan Tuhan). Barangkali inilah dari sekian banyak khazanah ketuhanan yang menjadi pelaksanaan dari surat al-Qalam (pena) dan surat al-'Alaq/Iqra' dengan sepatah ayat yang fenomenal "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta".
Mencari Akar Teopuitik
Menengok literatur Islam, jauh sebelum Muhammad lahir, tradisi berpuisi (bersyair) di suku-suku Arab sudah mendarah daging. Sepanjang perkembangan, syair bagi mereka hanyalah sakit hati, rindu, cinta yang tercipta dari interaksi kemanusiaan. Tak kalah lebih penting, syair bagi Arab jahili adalah ungkapan kesakralan tertinggi, ditujukan terutama kepada mantra atau ucapan pada ritual keagamaan.
Realitas ketuhanan yang kemudian dilewati al-Hallaj (910 M/34 H) justru menimbulkan diskursus baru dalam hal relasi agama dan kekuasaan. Capaian spritual al-Hallaj yang matang, ketika bersinergi dengan kekuasaan, akan menjadi mentah kembali. Konsekuensi hukum yang diciptakan untuk stabilisasi interaksi kemanusiaan dan ketuhanan akhirnya menjerat al-Hallaj hingga mengakhiri hi dupnya di tiang gantungan. Ini semakin mencengangkan, Â sebuah ungkapan yang secara verbal hanya berupa kata-kata, seperti yang diungkapkan al-Hallaj kepada Tuhannya, bisa berakibat kehilangan nyawa.
Dari realitas sejarah inilah ditemukan struktur bangunan Islam yang tidak hanya syariah, akhlak, muamalah, tapi juga tasawuf. Dalam tasawuf ekspresi tertinggi cinta terhadap Tuhan diabadikan sebahagian dengan tingkah laku dan sebahagian lagi melalui kata-kata (puisi). Lahirlah tokoh-tokoh sufi yang mengekspresikan cinta pada Tuhan dengan balutan kata-kata yang menggugah hati dan menelanjangi akal. Banyak contoh untuk disebutkan selain al-Hallaj diatas juga ada diantaranya Jalaluddin Rumi dan Fariduddin Attar.
Karya Divan e Shamse Tabrizi adalah pernyataan cinta sang murid (Jalaluddin Rumi) kepada sang guru (Syamsuddin Tabrizi) yang hilang misterius setelah memberikan 'cinta Tuhan' kepada Rumi. Diwan adalah semacam puisi pujian seperti kasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Di bunga rampainya ini, Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diraihnya pada jalan tasawuf. (Abdul Hadi W.M. 2006, xvii).
Mantiq al-Tayr adalah pengalaman spiritual Attar dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mengalahkan nafsu rendah. Secara simbolik bahwa jalan kerohanian dalam ilmu tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu; lembah pencarian (talab), isyq (cinta), makrifat (ma'rifah), kepuasan hati (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana'). (Abdul Hadi W.M. 2004,137).
Penutup
Kecerdasan membaca dan meramu kata-kata yang berprikemanusiaan dan berketuhanan pada akhirnya menjadi sesuatu keniscayaan yang dimiliki oleh si pembuat puisi, jika ia tidak ingin dikatakan "tidak ada". Kedua istilah ini dalam konstelasi keislaman dikembangakan dengan dua instrumen; hablu minallah (hubungan dengan Allah) dan hablu minannas (hubungan dengan manusia). Kesimpulannya, jika kedua instrumen tersebut tidak diapresiasi secara mendalam oleh si pembuat puisi, maka pada tingkat pencapaian karyanya akan berjarak dari manusia dan lebih fatal lagi menjauh dari Tuhan. Di sinilah pentingnya teopuitik -puisi berketuhanan-.
Taman Bacaan
Acep Zamzam Noor. Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif. Penerbit Nuansa. Bandung. 2011.
Abul Hasan An Nadwi. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar (terjemahan). Jakarta. 2004.
Jan van Luxemburg dkk. Pengantar Ilmu Sastra (terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. 1989.
M. Quraish Shihab. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an Volume 15. Lentera Hati. Jakarta. 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H