Di Islam segala kegiatan manusia dibingkai dalam tauhid-mengesakan Allah dalam bentuk apapun-Tauhid kemudian diaplikasikan di kehidupan yang dijalani orang-orang yang menyatakan beragama Islam (muslim). Islam bermakna kepasrahan, ketundukan dan kedamaian.Â
Sayangnya si manusia muslim dalam menjalani keseharian hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan ia jauh dari Tuhan. Ada beragam cara untuk menggugah kesadaran si manusia muslim supaya kembali mendekatkan diri kepada Tuhan dan puisi dapat melakukan itu.
Puisi yang berisi bahasa kata untuk menyadarkan kembali si manusia ingat dan dekat pada Tuhan. Saya menyebutnya dengan Teopuitik. Memberikan arti teoputik dapat di dekati dengan melihat karakterisasi puisi yang menyentuh kemanusiaan untuk dilihat kembali dalam bingkai keilahian atau ketuhanan.Â
Puisi tak lagi sekedar keajaiban bahasa yang dirangkai kata-kata untuk diajadikan kritik sosial, krirtik pendidikan, kritik budaya, krititk hukum, kritik ekonomi, kritik politik, kritik keagamaan dan lain sebagainya.
Puisi berjudul "Sekolah" yang dibuat oleh Emha Ainun Nadjib-sapaan akrab Cak Nun-mendekatkan puisi dengan realitas dunia pendidikan -puisi sebagai kritik pendidikan-. "Seribu sekolah/Seribu universitas/Tak paham manusia/Seribu ilmu/Seribu pengetahuan/Salah memandang dunia".
Teopuitik berbeda dengan puisi di atas tersebut. Ia lahir bersebab kurangnya perhatian puisi-puisi untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Teo berarti Tuhan sedangkan puitik disamakan dengan puisi. Untuk menyebut beberapa nama yang puisinya dikategorikan teopuitik dan sudah tergoda oleh estetika teopuitik. Untuk menyebut beberapa nama; Hamid Jabbar dengan puisinya "Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah" dan "Doa Terakhir Seorang Musafir". Sutardji Calzoum Bachri dengan judul puisinya "Berdepan-depan denga Ka'bah". Acep Zamzam Noor, Zawawi Imron, Kuntowijoyo.
Ini teopuitik karya Kuntowijoyo "Makrifat sungai pohon/Makrifat bunga mawar/Makrifat batu-batu/Merangkai tasbih danau/Melebur danau jadi kemilau/Melebur ruh jadi aku/Melebur aku jadi nafas-Mu". Atau seperti karya Ismed Nasir "Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: mudah-mudahan ada Kau (Tuhan)".
Dunia perpuisian tak hanya semata-mata sebagai rupa-rupa kata yang mencerminkan realitas sosial dan realitas lainnya, pun bukanlah semata dunia kreativitas. Lebih dari itu, ia mesti tidak menjauh dari Tuhan sebagai Sang Pencipta (khaliq) yang awal mula memberikan kata-kata pada makhluk (orang yang diciptakan Tuhan). Barangkali inilah dari sekian banyak khazanah ketuhanan yang menjadi pelaksanaan dari surat al-Qalam (pena) dan surat al-'Alaq/Iqra' dengan sepatah ayat yang fenomenal "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta".
Mencari Akar Teopuitik
Menengok literatur Islam, jauh sebelum Muhammad lahir, tradisi berpuisi (bersyair) di suku-suku Arab sudah mendarah daging. Sepanjang perkembangan, syair bagi mereka hanyalah sakit hati, rindu, cinta yang tercipta dari interaksi kemanusiaan. Tak kalah lebih penting, syair bagi Arab jahili adalah ungkapan kesakralan tertinggi, ditujukan terutama kepada mantra atau ucapan pada ritual keagamaan.
Realitas ketuhanan yang kemudian dilewati al-Hallaj (910 M/34 H) justru menimbulkan diskursus baru dalam hal relasi agama dan kekuasaan. Capaian spritual al-Hallaj yang matang, ketika bersinergi dengan kekuasaan, akan menjadi mentah kembali. Konsekuensi hukum yang diciptakan untuk stabilisasi interaksi kemanusiaan dan ketuhanan akhirnya menjerat al-Hallaj hingga mengakhiri hi dupnya di tiang gantungan. Ini semakin mencengangkan, Â sebuah ungkapan yang secara verbal hanya berupa kata-kata, seperti yang diungkapkan al-Hallaj kepada Tuhannya, bisa berakibat kehilangan nyawa.