Mohon tunggu...
Fakhira Rahma Yuntafa
Fakhira Rahma Yuntafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Unpad

saya seorang mahasiswa sejarah yang mempunyai hobi memotret dan menulis diary

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dzulhijjah Bulan Pengorbanan: Merefleksikan Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Anaknya, Ismail

26 Juni 2024   23:36 Diperbarui: 26 Juni 2024   23:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Islam mempunyai empat bulan mulia dalam tahun hijriah. Empat bulan tersebut adalah Muharram, Rajab, Dzulhijjah, dan Dzulqa'dah yang juga dikenal sebagai bulan haram. Mengapa disebut bulan haram? Karena pada keempat bulan itu diharamkan untuk berperang dan melakukan pertumpahan darah. Seperti yang kita ketahui, bahwa pada masa jahiliyah masyarakat Arab dikenal karena semangat kesukuannya yang tinggi sehingga perang antar suku (bani) seringkali terjadi. Di bulan Dzulhijjah ini kita dianjurkan untuk beramal baik (beribadah) dan menjauhi apa yang Allah larang (maksiat).

Jika Ramadhan mempunyai keutamaan pada malam dan 10 hari terakhirnya, maka bulan Dzulhijjah adalah kebalikannya. Dzulhijjah mempunyai kemuliaan pada 10 hari pertamanya dan pada siang harinya. Ramadhan merupakan bulan peningkatan keimanan, dan Dzulhijjah merupakan bulan pembuktian tauhid. 

Tadhiyyah berarti pengorbanan. Selain menjadi bulan yang mulia karena termasuk ke dalam bulan haram, Dzulhijjah juga menjadi mulia karena merupakan bulan pengorbanan. Di bulan ini keimanan kita akan dibuktikan dalam bentuk pengorbanan.

Bicara mengenai pengorbanan pasti berangkat dari kisah Nabi Ibrahim a.s yang bermimpi mendapatkan perintah dari Allah swt. Untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail. Jika kita berada di posisi Nabi Ibrahim, belum tentu kita akan menyanggupi perintah tersebut. Coba bayangkan... buah hati yang sangat kita nantikan kehadirannya, justru harus kita sembelih. Mungkin akan terlintas dalam benak kita, orang tua mana yang sanggup menyembelih anaknya? dan anak manakah yang akan rela, jika harus disembelih oleh orang tuanya? Kawan... seringkali kita ingin mengikuti kata hati. Hingga kita lupa bahwa yang harus kita ikuti bukanlah kata hati, melainkan kata Allah. Karena pada hakikatnya hati manusia memang tidak pernah bersih, dan selalu terdapat kotor. 

Lantas, apa yang membuat Nabi Ibrahim ikhlas untuk menerima dan melaksanakan perintah tersebut? Nabi Ibrahim mampu melaksanakan perintah tersebut karena keimanannya yang menghujam kuat kepada Allah. Ia meyakini, bahwa melaksanakan perintah Allah merupakan salah satu bentuk ketaatannya. Nabi Ibrahim tunduk kepada Allah, ia percaya bahwa anak merupakan salah satu harta yang Allah titipkan kepadanya. Maka ia harus ikhlas, ketika suatu waktu Allah mengambil kembali titipan tersebut.  

Putranya pun, tidak kalah hebat keimanannya. Nabi Ismail rela disembelih oleh ayahnya, karena ia tahu bahwa itu perintah Allah. Dengan bersedia untuk disembelih ia telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, dan kewajibannya sebagai seorang makhluk untuk tunduk kepada Tuhannya. 

Ketika penyembelihan dilakukan, Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba karena keikhlasan dan ketaatan mereka terhadap perintah Allah. Peristiwa ini pun menjadi dasar syari'at berkurban bagi setiap muslim yang mampu. Dari peristiwa tersebut kita dapat melihat betapa besar keimanan seorang ayah dan anaknya terhadap Allah swt. Nabi Ibrahim tidak hanya berhasil mendidik anaknya, namun juga berhasil mendidik istrinya, Siti Hajar. Sebagai seorang ibu pasti sangat berat rasanya, ketika mengetahui putra tercintanya harus disembelih oleh suaminya sendiri. Nabi Ibrahim dan Siti Hajar memberikan teladan bagi kita, bahwa kecintaan mereka terhadap Ismail tidak melebihi cinta mereka kepada Allah. 

Di masa kini pengorbanan yang kita lakukan bisa dalam berbagai bentuk. Bisa dengan berkurban jika kita telah mampu, bisa dengan memberikan kontribusi berupa tenaga, harta, atau fasilitas apapun yang kita punya untuk membantu pelaksanaan syari'at kurban. Kita juga dapat memberikan pengorbanan kita dengan cara mengingatkan dan mengajak teman kita untuk beramal sholeh di bulan Dzulhijjah ini.

Lantas, sudah seberapa besar pengorbanan kita kepada Allah? di bulan Dzulhijjah ini, sudahkah kita melakukan pengorbanan terbaik kita? Jangan sampai kita melewati Dzulhijjah dengan begitu saja. Sebab usia, tidak ada yang bisa mengira. Boleh jadi Dzulhijjah tahun ini adalah Dzulhijjah terakhir bagi kita.

wallahualam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun