Mohon tunggu...
Julfakar
Julfakar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belum apa-apa dan bukan siapa-siapa

Sekedar menyalurkan isi kepala dengan menulis. Happy reading teman-teman 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya yang Memilih Berhenti Membaca HRS

16 Desember 2020   20:59 Diperbarui: 16 Desember 2020   21:16 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara pribadi (dengan kemampuan saya menalar, kita boleh beda melihatnya) dalam memahami rangkaian masalah-masalah yang menyeret nama HRS, sebenarnya saya sudah merasa bosan. Saya sedang membicarakan saya yang sudah merasa bosan dengan kasus-kasus HRS itu, tidak sedang membicarakan orang lain.

Yang masih ingin memperhatikan kasus-kasus HRS, silakan terus ikuti. Tak ada kewajiban bagi siapapun untuk melarang orang lain mengikuti perkembangan kasus HRS. Sebaliknya pula, tak ada kewajiban bagi siapapun juga untuk melarang orang lain berhenti mengikuti perkembangan kasus-kasus HRS tersebut. Yang mau ikuti terus, silakan terus ikuti, yang memilih berhenti, silakan berhenti. Kita bebas memutuskan itu.

Beberapa hari terakhir ini, jika melihat pemberitaan media tentang HRS, saya sudah mulai skip-skip saja. Bagaimanapun, ketika kita terus mengonsumsi sesuatu yang sama setiap harinya, lama-kelamaan kita juga akan sampai pada apa yang disebut dengan bosan. Media online dan media sosial yang saya ikuti, terus membicarakan kasus-kasus HRS tersebut, dengan berbagai sudut pandangnya, yang pro maupun yang kontra, akibatnya saya sampai di titik ini, bosan dan memilih berhenti.

Saya meyakini pilihan saya ini baik untuk saya sendiri. Yang paling tahu diri kita adalah diri kita sendiri, karenanya segala input informasi yang masuk, kita sendiri yang memutuskan, apakah informasi ini baik untuk diri, cocok untuk diri atau malah sebaliknya. Dan informasi yang diberitakan oleh media-media tentang HRS kini tak baik lagi untuk diri saya. Sadar diri untuk selamatkan diri itu penting.

Saya merasa kasus-kasus HRS tak cocok untuk saya ikuti, kapasitas kepala saya yang kecil tak cocok untuk mengikuti, apalagi sampai menganalisa kasus-kasus HRS yang makin hari makin luar biasa banyak variabel ikutannya itu. Saya seperti prosesor kecil yang berhenti bekerja membaca file besar dalam sebuah komputer.

Di era keterbukaan informasi ini, semua orang dengan berbagai latar belakangnya, baik para profesional maupun yang awam, bisa bebas bicara dan berkomentar tentang kasus apapun, dari sudut manapun mereka berada. Mana yang hanya cocok didiskusikan di meja para professional, kadang didiskusikan di meja awam, dan mana yang hanya cocok untuk dibicarakan di meja awam, malah diributkan oleh para prefesional. Akibatnya, mana komentar profesional dan mana komentar awam tentang HRS sulit kita bedakan.

Kadang nampaknya yang awam malah berkomentar lebih profesional, dan yang profesional malah berkomentar seperti seorang awam. Makin ruwetlah jadinya, sebuah realitas semakin kabur untuk kita pahami.

HRS, sebagai figur publik, tentu apa yang dikatakan dan apa yang dilakukannya akan menjadi perhatian publik. Setelah kata-kata itu selesai diucapkannya, dan setelah sikap tertentu selesai dilakukannya, maka kata dan sikap itu segera akan dikomentari publik, bahkan sampai dinilai oleh publik baik-buruknya.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan HRS, berikut dengan kasus-kasusnya? Tetap kabur terlihat dan tak benar-benar dapat kita pahami dengan baik. Bagi mereka yang merindukan kejernihan, kekaburan itu begitu membosankan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun