Wacana mengenai ambang batas pencalonan presiden (Presidential Treshold) menjadi perbincagan hangat di kalangan para politisi, akademisi, pengamat, maupun dalam berbagai pemberitaan di media massa. Pasalnya, Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 yang mengatur tentang pemilihan umum Presiden (Pilpres) ini di anggap memiliki sejumlah kelemahanbahkan bertentangan dengan Undang-undang dasar (UUD 1945) serta dapat menghambat munculnya calon-calon Presiden alternatif pada pemilihan umum Presiden 2014 mendatang.
Letak perdebatan sesungguhnya adalah tentang ketentuan Pasal 9 Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 yang mengisyaratkan bahwa calon presiden harus memenuhi syarat minimum pencalonan yaitu presidential threshold (PT) 20% dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki keterwakilan kursi di DPR atau, 25% suara sah dalam pemilu legislatif nasional. Angka dalam pasal ini menurut banyak pihak tidak demokratis dan lebih menguntungkan partai politik besar, sebab melalui pasal ini pulalah parpol besar bisa “mensabotase” kemunculan figur-figur pemimpin alternatif.
Sejumlah kalangan, baik dari partai politik (baca: khususnya partai menengah) maupun tokoh masyarakat telah mengambil langkah dengan mengajukan peninjauan kembali (judicial Review) Undang-undang tersebut ke Mahkamah konstitusi. Yang paling getol dalam menggugat pasal tersebut adalah partai Gerindra, sebab dianggap menyulitkan proses pencalonan sang ketua dewan Pembina, Prabowo subianto pada pemilu nanti. Sementara itu di DPR, draf revisi UU No 42 Tahun 2008 hingga kini masih digodok oleh badan legislasi. Parpol melalui fraksinya sedang ramai melakukan lobi-lobi politik antarsesama mereka dalam menemukan formula kesepahaman terhadap agenda revisi UU ini.
Capres Alternatif dan Hambatanya
Diskursus Presiden alternatif menemukan urgensinya ditengah tingkat ketidakpercayaan public (public distrust) terhadap elit politik dan pemerintah. Rakyat menginginkan hadirnya “wajah-wajah” baru dalam pentas kepemimpinan nasional, pemimpin baru yang bisa memberikan energi dan optimisme untuk keluar dari situasi serba sulit yang dialami. Hasil survey beberapa lembaga riset menunjukan hal tersebut, bahwa rakyat menghendaki hadirnya figur presiden Alternatif.
Secara mendasar, Undang-undang Pilpres yang berlaku sekarang menjadi salah satu faktor penghambat bagi lahirnya capres alternatif dalam pemilu, apalagi proses seleksi calon presiden yang dilakukan oleh institusi partai politik tidak transparan dan cenderung mengakomodir kepentingan penguasa partai dan elit-elit parpol saja. Padahal, terdapat begitu banyak figur alternatif pemimpin nasional dari berbagai latar belakang, baik kader parpol maupun di luar parpol yang bisa di munculkan. Namun, hal ini rasanya tidak pernah di lakukan, karena terhambat oleh karakteristik partai yang oligarkis dan transaksional. Rakyattidak diberikan kesempatan dalam memilih figur pemimpin nasional berdasarkan espektasinya.
Aturan PT yang tinggi juga akan berimplikasi bagi minimnya jumlah capres dalam pilpres 2014 mendatang. Dari konfigurasi parpol yang ada, kemungkinan hanya ada sekitar dua sampai tiga pasangan capres. Pilpres tahun 2009 lalu, mengkonfirmasi kebenarar tesis bahwa tingginya angka PT berpengaruh bagi kemunculkan calon dengan jumlah yang terbatas, yakni SBY-Boediono, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Jumlah pasangan capres yang terbatas ini, dikarenakan hanya partai-partai besarlah yang mampu memenuhi prasyarat yang di tentukan dalam pengajuan capres, sementara parpol menengah dan kecil harus berkoalisi agar dapat mengusung capres. Dalam konteks inilah, masyarakat hanya disuguhkan dengan figur lama yang belum tentu diinginkan oleh masyarakat.
Jalan Tengah
Perdebatan dan tarik-menarik kepentingan mengenai angka PT oleh parpol di DPR, lebih memperlihatkan sikap pragmatis dan sangat berorientasi pada politik kekuasaan, partai-partai besar menginginkan PT dinaikkan, tujuanya adalah untuk mempertahankan dominasi kekuasaan dan membendung kekuatan lain yang berpotensi muncul sebagai pesaing politik. Dilain pihak, mayoritas parpol menengah dan kecil berkepentingan untuk menurunkan angka PT sekecil mungkin, tentu dengan maksud meraih kekuasaan dengan cara-cara yang instan. Semestinya, agenda revisi UU Pilpres ini diarahkan untuk kepentingan yang lebih strategis, yakni mendorong penguatan sistem demokrasi presidensil serta memperbaiki semua kelemahan didalamnya.
Untuk melahirkan alternatif kepemimpinan nasional yang beragam, maka perludilakukan koreksi terhadap pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008, yang menurut penulis, cenderung menutup ruang bagi hadirnya pemimpin nasional alternatif. Idealnya, PT di berlakukan dalam angka yang “wajar” minimal 10% kursi DPR atau 15% suara sah secara nasional. Mengapa, Sebab angka ini menjadi “jalan tengah” untuk merespon kehendak rakyat dan kepentingan partai politik, sekaligus menjadi formula yang pas untuk mewadahi kepentingan rakyat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang plural.
Angka moderat diatas, juga memungkinkan parpol atau gabungan parpol di DPR bisa mengajukan calon presidenya tanpa terkecuali. Dengan angka 10-15%, akan memaksa partai untuk tidak asal-asalan mengajukan calon presiden yang diusung. Partai secara institusional juga akan terdorong untuk sungguh-sungguh bekerja dalam aktifitas politik. Demi kepentingan strategis diatas, maka perbaikan terhadap UU Pilpres menjadi kebutuhan mendesak untuk diselesaikan secepatnya, agar rakyat memiliki banyak pilihan dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun kedepan. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H