Mohon tunggu...
Fajrin Rumalutur
Fajrin Rumalutur Mohon Tunggu... profesional -

Peminat masalah-masalah Sosial, Politik, ekonomi, sejarah dan Musik. menyukai film-filim Action dan China. "Ilmu,imamu amal"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Jokowi-Ahok Menang?

23 September 2012   12:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:52 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil quick qount yang di rilis oleh beberapa lembaga survei pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) DKI Jakarta putaran ke dua memberikan kejutan bagi warga Jakarta. quick qount LSI, menunjukan perolehan suara terbesar dikantongi pasangan Joko widodo - Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok) sebanyak 53,81% dan disusul pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) sebanyak 46,19% dari total suara keseluruhan yang dirandom.

Pasangan yang diusung oleh koalisi PDI-P dan GERINDRA ini menang di seluruh wilayah DKI Jakarta, kecuali di kabupaten administratif kepulauan seribu. Banyak pihak yang heran, terutama Tim sukses dan para pendukung pasangan petahana, pasalnya diputaran kedua hampir 85% papol bergabung dalam mengusung pasangan ini. Secara matematis, suara koalisi gemuk (PD,PPP,GOLKAR,PKS dll) ini akan menghantarkan Foke-Nara memimpin Jakarta untuk kedua kalinya. Namun, fakta politik berkata lain, pasangan dengan tagline “Jakarta Baru” mampu keluar sebagai Pemenang.

Demografi Jakarta

Jakarta merupakan kota metropolitian dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta merupakan pusat bisnis dan keuangan, 70% uang negara beredar di Jakarta, termasuk pusat perkantoran perusahaan nasional maupun internasional. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta merupakan tempat berkumpulnya berbagai komunitas dari seluruh lapisan sosial masyarakat di wilayah indonesia.

Konsentrasi pembangunan ekonomi yang cepat, berkonsekuensi bagi pertumbuhan penduduk, sehingga Jakarta menjadi kota multi etnik dengan ragam stratifikasi sosial. Secara demografis, Jakarta dihuni oleh sebagian besar kelas menengah kota dengan tingkat ekonomi yang baik, disertai dengan komposisi etnis dominan yaitu Jawa, Betawi, Sunda, dan lainnya. Etnis china, berada dalam populasi yang kecil, namun menguasai sektor perdagangan. Dari segi agama, Islam merupakan agama mayoritas, diikuti Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.

Faktor-Faktor Kemenangan

Pemilukada putaran kedua yang di selenggarakan 20 september 2012, mematahkan argumentasi banyak pihak yang berspekulasi atas kemenangan pasangan incumbent. Bagi penulis, ada beberapa faktor yang membuat Jokowi-Ahok unggul dalam Plikada putaran kedua; Pertama dukungan kelas menengah.Jakarta merupakan salah satu kota di Asia dengan jumlah penduduk dan ekonomi yang terus tumbuh. Data BPS (2009) menunjukan, 13% masyarakat Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10.000. Jumlah ini menempatkan Jakarta sejajar dengan Singapura, Shanghai, Kuala Lumpur dan Mumbai.  Kelompok kelas menengah ini biasanya sangat kritis dalam berbagai hal, termasuk menentukan preferensi politik mereka dalam pemilukada. Dalam kategori perilaku pemilih (political behavior), kelas menengah akan melihat berbagai macam faktor seperti latar belakang kandidat, programatik yang di tawarkan serta rekam jejak (track and record) kandidat. Mereka (kelas menengah) juga menilai, bahwa lima tahun periode kepemimpinan Foke tidak menunjukan prestasi yang menonjol. Masalah-masalah utama kota Jakarta seperti kemacetan, banjir, ketersediaan transportasi publik yang layak, tata kelola birokrasi dan pelayanan publik cenderung di lihat sebagai kegagalan incumbent, hal ini diametral dengan Jokowi yang dinilai sukses membangun kota Solo.

Kedua, dukungan etnis Jawa dan kelompok minoritas. Dalam pilkada Jakarta, populasi pemilih terbesar adalah etnis jawa. Mereka adalah pemilih terbesar Jokowi-Ahok. Pembelahan etnis (etnic devided) dalam pilkada memang terlihat jelas dari presentasi dukungan mayoritas etnis jawa terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Polarisasi dukungan politik berbasis etnis ini terjadi disebabkan oleh format penyusunan pasangan calon yg tidak mewakili dua komunitas besar. Jokowi-ahok menjadi wujud representasi politik etnis jawa sedangkan foke-nara adalah perwujudan representasi politik etnis betawi. Selain itu, pemilih dengan latar etnis cina, yang beragama protestan dan katolik, memberikan dukungan penuh pada pasangan jokowi-ahok, yang berlatar belakang sama seperti mereka. Sementara itu pemilih muslim relatif sekuler dalam menentukan pilihan politiknya, Itu sebabnya ketika belakangan isu SARA di hembuskan tidak memberikan efek elektoral bagi pasangan Jokowi-Ahok.

Ketiga, media darling. Media menjadi alat yang paling efektif membentuk persepsi publik. Ini terlihat saat menjelang pemilihan, ada kecenderungan media memberikan ruang yang baik bagi jokowi, hampir semua pemberitaan dibanjiri dengan informasi yang positif tentang sosok Jokowi. pemberitaan ini bukan tanpa alasan, sebab selama ini, reputasi Jokowi sebagai pejabat publik terlihat sukses dalam berbagai hal. Media akan cenderung memberitakan sucsses story dari pejabat publik yang di nilai berprestasi. Situasi ini berbalik dengan pemberitaan publik yang kritis dan keras tentang sosok Foke.

Keempat, kekuatan figur. Dalam struktur masyarakat majemuk dan rasional seperti Jakarta, faktor figur lebih dipertimbangkan oleh masyarakat dibandingkan mesin partai pendukung. Politik pemilukada adalah politik figur, bukan politik parpol. Kekalahan Foke-Nara yang diusung begitu banyak parpol mengkonfirmasi kebenaran tesis ini. Sejak pemilukada langsung diselenggarakan, trend figur memang menjadi gejala umum dalam dinamika politik lokal, partai sekedar memiliki peran untuk memenuhi prasyarat pencalonan (kandidasi). Figur Jokowi yang bersahaja, santun, bersih dan apa adanya menjadi magnet elektoral yang kuat dalam menarik simpati publik.

Kelima, pemanfaatan media sosial. Jokowi dan tim pemenangnya mampu memanfaatkan instrument media sosial sebagai tools kampanye, media sosial efektif mensosialisasikan hal-ihwal tentang calon mulai dari figur hingga program politik yang hendak di tawarkan kepada pemilih. Media internet sangat strategis digunakan, karena mayoritas masyarakat Jakarta terutama kalangan muda gandrung menggunakan internet. Kalangan muda bisa menjadi agen sosial yang baik pada komunitas pergaulan dan lingkungan di sekitar mereka dalam memyebarkan informasi tentang kandidat. Jokowi mampu mengelola media internet dengan sangat baik dalam membentuk persepsi publik. Selain itu, media internet dipandang lebih murah sehingga bisa mengefisienkan pengeluaran dana kampanye.

Kelima faktor inilah yang menjadi alasan kuat megapa Jokowi-Ahok mampu mengalahkan pasangan incumbent Foke-Nara dalam pertarungan Pemilukada DKI Jakarta putaran ke dua ini. Semoga kemenangan jokowi ini menjadi pelajaran sekaligus inspirasi bagi kita semua. Selamat datang gubernur dan wakil gubernur baru DKI Jakarta semoga bisa Mewujudkan Jakarta Baru Yang di Janjikan!!!

(fajrin Rumalutur)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun