Mohon tunggu...
FAJRIN PUTRA WIJAYA
FAJRIN PUTRA WIJAYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta

Tak masalah menjadi dibenci, asal tidak menjadi pembenci.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sebab Akibat Invasi Rusia ke Ukraina: Analisis Pendekatan Realisme

18 April 2022   14:50 Diperbarui: 18 April 2022   14:53 3690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dunia memasuki masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hingga akhirnya, Uni Soviet mengalami kemunduran kemudian runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara. Perpecahan Uni Soviet menjadi beberapa negara tersebut diklaim sebagai berakhirnya Perang Dingin. Namun sejatinya Uni Soviet tidak hilang, karena segala perannya dalam panggung politik internasional digantikan oleh Rusia hingga saat ini. Demikian juga dengan Perang Dingin. Hingga saat ini, hubungan Rusia dengan Amerika Serikat dan sekutu Barat masih memiliki jarak. Terakhir, hubungan Rusia dan Amerika Serikat sempat memanas terkait dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Saat ini, Rusia kembali menjadi perbincangan hangat bagi seluruh warga dunia. Hal ini dikarenakan Presiden Rusia Vladimir Putin telah memberikan restu kepada militer Rusia untuk melakukan yang disebut oleh Rusia sebagai “operasi militer khusus” atau yang umumnya dikatakan sebagai invasi terhadap Ukraina. Ukraina sebenarnya juga merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet. (CNBC Indonesia, 2022) Meski tindakan Rusia terhadap Ukraina tersebut sudah dideteksi oleh Amerika Serikat sebelumnya, namun tetap saja, invasi Rusia ke Ukraina yang dilakukan pada 24 Februari 2022 mengundang kejut dunia. Akhirnya, “perang” terjadi hingga saat ini.

Sumber: PikiranRakyat.com
Sumber: PikiranRakyat.com

Seperti kata pepatah Indonesia, bahwa setiap ada asap, tentu terdapat api. Demikian juga dengan tindakan Rusia terhadap Ukraina. Tentu terdapat beberapa sebab-sebab yang mendorong Rusia melakukan tindakan militer yang disebut invasi terhadap Ukraina. Sebenarnya, penyebab utama yang jelas adalah karena keinginan Ukraina untuk bergabung dalam aliansi pertahanan Barat, yaitu NATO. (Aida, 2022) Pertanyaannya adalah, mengapa Rusia harus melakukan tindakan militer ketika Ukraina memiliki keinginan untuk bergabung dalam aliansi pertahanan Barat, yaitu NATO? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan teori Realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional.

Terdapat beberapa asumsi dasar dalam teori Realisme. Pertama, bahwa negara merupakan aktor utama dalam politik internasional. Bahwa benar terdapat aktor internasional lainnya selain negara, namun pada akhirnya hanya tindakan negara yang menjadi penentu. Kedua, moralitas negara adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional sebuah negara tersebut adalah tentang keamanan dan kekuatan. Sehingga dalam paham Realisme, negara berorientasi untuk menjadi paling kuat agar sekaligus dapat menjadi paling aman. Ketiga, struktur internasional yang bersifat anarki. Asumsi ini menjelaskan bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara bebas bertindak apa saja demi mencapai kepentingannya tanpa ada campur tangan yang memaksa dari pihak lain. (Rosyidin, 2020)

Sumber: Viva.co.id
Sumber: Viva.co.id

Jika dilihat dari asumsi Realisme bahwa struktur internasional adalah bersifat anarki dan membuat setiap negara bebas bertindak apa saja sesuai kepentingan nasional negara tersebut, memang terkesan tindakan Rusia tidak dibenarkan oleh asumsi tersebut. Namun, Rusia memiliki alasan sendiri. Dengan bergabungnya Ukraina dalam NATO, hal ini membawa ancaman pada Rusia, termasuk ancaman bagi aliansi militer Rusia, yaitu CSTO. Sebab hal tersebut sama dengan Barat menodong pistol tepat di kepala Rusia. Jika Ukraina bergabung dalam NATO, maka akan banyak penempatan senjata-senjata NATO di Ukraina, yang secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia. Demikian juga dengan Ukraina, bergabung dengan NATO membuat Ukraina menjadi lebih aman karena terdapat aliansi militer. Kedua negara, baik Rusia atau Ukraina, memiliki tempat yang sesuai dalam setiap asumsi teori Realisme. Sehingga hal ini menjadi dilema dan ajang adu power antara dua blok kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat dan Rusia. Hal ini juga dapat dianalisis dengan konsep Balance of Power dalam perspektif Realisme.

Sumber: Inilah.com
Sumber: Inilah.com

Dalam konsep Balance of Power, terdapat dua pola utama. Pertama, pola perlawanan langsung. Pola ini menggambarkan bahwa suatu negara ingin menguasai negara lain secara langsung melalui kebijakan luar negerinya yang imperialistik, sedangkan negara yang ingin dikuasai tersebut menolak untuk dikuasai dengan cara mempertahankan kedaulatan dan kekuatannya atau dengan cara melawan balik dengan kebijakan luar negerinya yang juga bersifat imperialistik. Kedua, pola persaingan. Pola ini menggambarkan kedua negara yang saling adu kekuatan untuk mendominasi negara lainnya. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa metode dalam melakukan Balance of Power, antara lain: (Morgenthau, 1948)

  1. Membuat negara saingan tetap lemah dengan cara membagi kekuasaan atau mempertahankan agar kekuasaan mereka tetap terpisah.
  2. Pembagian kompensasi wilayah untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan yang terganggu oleh pengambilalihan wilayah oleh negara lain.
  3. Penggunaan senjata untuk mempertahankan atau mendirikan kembali keseimbangan kekuasaan.
  4. Menggunakan aliansi.
  5. Menggunakan pihak ketiga sebagai balancer.

Jika dilakukan analisis menggunakan konsep Balance of Power, awalnya invasi Rusia ke Ukraina merupakan pola persaingan. Hal ini terlihat bagaimana Amerika Serikat dan Barat yang tergabung dalam NATO, dan Rusia, beradu kepentingan dalam melakukan perluasan pengaruh militer di Ukraina. Namun ketika Rusia benar-benar melakukan tindakan militer terhadap Ukraina, terdapat perubahan pola menjadi perlawanan langsung. Negara NATO menjadi enggan memberikan bantuan militer yang serius terhadap Ukraina setelah Rusia benar-benar melakukan tindakan militer. Terdapat beberapa faktor mengapa NATO bersikap demikian. Pertama, dari sisi Amerika Serikat yang kini dipimpin oleh Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat yang memang cenderung melakukan langkah-langkah diplomasi soft power. Kedua, mengingat ketergantungan Eropa terhadap pasokan energi dari Rusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun