*Disclaimer : Tulisan ini tidak tertuju kepada SARA tertentu.
Syahdan, berkenalanlah seorang pemuda kepada seorang gadis yang menurutnya menarik dan layak untuk dijadikan pasangan hidup.
Pemuda ini bukanlah dari golongan kaya raya, pun penghidupannya bisa dikatakan pas-pasan dalam keseharian.
Lalu pemuda ini memutuskan untuk mendatangi orang tua gadisnya untuk melakukan pendekatan, setelah beberapa bulan berpacaran.Â
Dengan niat tulus, ia berharap orang tua sang gadis tidak keberatan jika tiba waktunya dipersunting.
Melalui pertemuan tidak resmi pertama itu, sang orang tua menyatakan bahwa panai atau label anaknya adalah 100juta, jumlah yang sangat memberatkan bagi sang pemuda.
Sang pemuda pun pulang sambil merenung, ia tidak pernah bersiap sebelumnya, untuk menghadapi konsekuensi label harga tinggi dari anak gadis suku tertentu kekasihnya, tapi itulah adat.
Ia menghubungi gadisnya, berkonsultasi apakah "tidak bisa kurang" dengan harapan sang gadis mengerti dan mencoba membicarakan ulang pada orang tuanya.
Namun, sang gadis ingin "berbakti" pada kehendak orang tuanya, dan "menantang " kesanggupan sang pemuda untuk kerja lebih keras lagi. Sang gadis beranggapan hidupnya yang sangat sederhana sepanjang hidupnya harus ia kenang dalam satu resepsi megah.
Lalu sang pemuda merenung realistis, ini bukan jalan yang baik baginya, karena baginya tujuan atau prinsip sebuah pernikahan bukanlah kemegahan sebuah resepsi, namun bagaimana membentuk keluarga yang sehat, dan melahirkan keturunan yang baik-baik.
Mereka lalu memutuskan berpisah baik baik karena perbedaan prinsip memandang arti sebuah pernikahan.