Hari ini, Laila merasa berbeda dari hari-hari sebelumnya, wajahnya yang setiap saat berseri seperti musim semi menjadi berubah menjadi kemarau yang diselingi hujan. Bayangan Majnun tak mampu dihapus dari pelupuk mata indahnya. Ia tak tau lagi apa yang diingingkan hatinya sekarang, mengingat semua yang terjadi sangat cepat saat Majnun menyelinap melalui jendela. Ketika kepanikan tiba-tba menghampirinya, saat Majnun terburu-buru mengenakan bajunya, memasang ikat pinggang, merapikan rambut. Namun seketika kepanikan itu cair saat mereka duduk berdampingan, saling melempar senyum penuh kebahagiaan, saling terkesima, dan hening....ia tidak menyadari apa yang baru saja Majnun dan ia lakukn... Seperti sedang berada dalam gedung penuh lukisan di dekat pantai saat terjadi tsunami, Laila menyambar apa saja yang bisa disambarnya, tatapan, bisikan, desahan... Tetapi waktu lebih kejam daripada kecepatan ombak, Laila tetap tidak bisa menyelamatkan semuanya...Laila tetap merasakan sengatan rasa perih di bawah sana, berkas cahaya yang berpendar menimpa lantai... Tumitnya yang menyentuh tumit Majnun yang lebat berbulu, pakaian mereka yang berserakan di lantai setelah dilepaskan secara terburu-buru.... Tangannya yang menangkup siku Majnun, terlihat tanda lahir berupa mandolin terbalik di bawah bahu Majnun, terlihat kemerah-merahan...saat wajah Majnun yang menyapu wajahnya, dan rambut hitam berombaknya terurai menggelitiki bibir dan dagunya.... Ketakutan akan tertangkap basah...ketidakyakinan akan keberanian dan kenekatan mereka... Kenikmatan aneh dan tak terkayakan...berpadu dengan rasa perih.... Tatapan mata Majnun...kecemasan, kelembutan, permohonan maaf, dan...yang paling mengambil bagian terbesar adalah....rasa lapar.... Lailai melihat tiga tetes darah di atas seprei...darahnya sendiri.... "aku akan bertanggung jawab,apapun yang terjadi...." bisik Majnun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H