Mohon tunggu...
Fajrin Fathia
Fajrin Fathia Mohon Tunggu... -

Belajar merayap. selangkah demi selangkah, mencari arah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Balada Bakso

22 Mei 2014   21:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:13 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325046" align="alignleft" width="280" caption="Semangkok bakso punya cerita ironi didalamnya."][/caption]

Mendengar kata ‘bakso’, tentunya bukan hal yang aneh lagi ditelinga kita karena sebagai orang Indonesia. Bukan karena bakso adalah makanan khas yang menjadi trademark Indonesia, tapi karena si bulat lezat ini merupakan satu dari sedikit makanan berbahan dasar daging sapi yang bisa kita nikmati setiap saat dimana saja dengan harga yang relatif sangat terjangkau, dan digemari berbagai lapisan masyarakat.

Ya, harganya memang relatif sangat terjangkau bagi masyarakat. Hanya dengan mengeluarkan uang 10.000 rupiah, kita sudah bisa menikmati semangkok bakso panas lengkap dengan varian bakso kecil, bakso besar yang biasanya ada isi uratnya, sayuran beserta topping pelengkap seperti daun seledri cincang, bawang goreng, saus tomat, kecap dan sambal yang boleh ditambahkan kedalam makok bakso sepuasnya. Tidak jarang juga ada tukang bakso keliling yang menjajakan produknya dengan harga mulai dari 5.000 rupiah. Cukup terjangkau hingga ke lapisan masyarakat kelas bawah, kan?

Namun, harga yang murah pasti menuntut faktor lainnya untuk dikorbankan. Bisa dibayangkan, harga daging sapi yang menjadi bahan utama bakso, kini sekilonya sudah tidak bisa lagi didapatkan dengan selembar uang lima puluh ribuan. Belum lagi bicara tentang bahan pendukung lain seperti tepung terigu, bumbu-bumbu, tulang sapi sebagai kaldunya, dan lain-lain. Belum lagi juga biaya produksinya. Pernah terbayang berapa modal yang harus dikeluarkan untuk semangkok bakso yang kita nikmati seharga 10.000 rupiah itu?

Jadi faktor apa yang dikorbankan sebagai ganti harga yang murah tersebut?

Sebagai penggemar berat bakso, tentunya saya harus memahami bagaimana dan seperti apa asal muasal bakso. Saya pernah melihat sendiri bagaimana bakso dibuat. Dimulai dari pembelian bahan baku dan pencampurannya semua bahan tersebut. Daging sapi yang telah ditimban dan dipotong-potong selanjutnya dibawa ke sebuah tempat bernama penggilingan. Disini daging tersebut digiling dalam sebuah alat yang kemudian menghasilkan daging menjadi lunak, halus dan siap dibentuk. Saya pernah ke sebuah penggilingan di pasar tradisional dekat rumah untuk melihat proses tersebut, dan saya aware betul bagaimana suasana disana. Lupakan semua standar kesehatan yang digembar-gemborkan iklan sabun cuci tangan di TV. Tidak menemukan benda asing aneh atau hewan atau serangga mengerikan ikut tergiling, itu pun, sudah merupakan sebuah keberuntungan bagi saya.

Tidak berhenti sampai disitu. Perlu diingat bahwa bahan utama bakso yang menjadikannya bakso adalah daging sapi. Kecuali kalau si pembuat ingin mengeksplorasi bahan lain diluar pakem ini —atau mencari alternatif daging lain yang lebih murah dari daging sapi, seperti daging tikus atau celeng, hiii. Bisa bayangkan bagaimana bentuk daging tersebut  saat kita mencincangnya lalu merebusnya. Daging sapi punya sifat alami yang tidak ada obatnya, yaitu menghitam. Daging yang sudah dimatangkan, secara otomatis, memang membuat warnanya menjadi sedikit menghitam. apalagi setelah dicampurkan bersama bahan-bahan produksi lainnya. Itu pun juga yang terjadi pada bakso, secara alamiah. Dan karena warna makanan yang gelap/hitam itu rasanya agak lumayan sulit tertelan—karena asosiasi warna hitam itu sendiri, bukan warna makanan­ yang menggiurkan bagi otak ­­—akhirnya dipergunakanlah bantuan dari sebuah bahan kimia yang bernama pemutih. Kita pasti tahu, ‘pemutih’ yang digunakan untuk memutihkan pakaian itu beralih fungsi jadi peningkat gairah makan dan mempercantik tampilan bagi bakso. Selain itu, daging juga termasuk bahan makanan yang cepat membusuk. Jadi untuk membantunya tahan lama, digunakanlah pengawet. Dari penamatan yang saya lakukan, bisa dibilang hampir tidak ada bakso yang tidak ditambahkan bahan pengawet. Yang membedakannya hanyalah seberapa banyak bahan pengawet yang digunakan dan seberapa tega si penjual menuangnya.  Sayangnya yang namanya pengawet itu pasti adalah bahan kimia yang selalu punya dampak jangka panjang, sebut saja dari yang paling sering digunakan seperti borax sampai yang paling kontroversial, seperti formalin.

Belum lagi bicara tentang proses pembuatannya. Higienis rasanya adalah hal yang muluk bila membayangkan dimana dan bagaimana bakso tersebut dibuat. Saya pribadi rasanya sudah sangat berterimakasih bila si pembuat bakso masih tidak lupa mencuci tangan seusai buang air saat sedang memasak. Bila disebutkan, peralatannya sudah tidak begitu jelas bentuknya. Tempat menyimpan bahan yang seharusnya sangat bersih…..  Hah sudahlah, tidak ada habisnya kalau bicara soal itu. Kalau tidak terbayang, silahkan intip dapur-dapur warteg atau rumah makan kecil yang bisa Anda temui di sekitar jalan. Kurang lebihnya ya seperti itulah.

Meski mengetahui dan paham dengan hal-hal mengenai bakso dan pembuatannya seperti yang saya ceritakan diatas, saya sebagai penggemar berat bakso tidak lantas surut dan berhenti membeli bakso. Bakso masih menjadi makanan kesukaan saya yang juga menjadi moodbooster dikala kurang bersemangat. Sampai sekarang pun saya masih juga hobi makan bakso.  Salah satu favorit saya adalah Bakso Pa’De, bakso gerobak yang setiap mulai pukul 7 malam mangkal didepan sebuah warung sembako dibilangan Jalan Baru, antara dekat jalan TB. Simatupang dan Tanah Merdeka, yang juga jalan pulang saya kerumah. Jujur saja saya suka sekali sama baksonya Pa’De ini. Rasanya bisa dibilang pas dengan selera saya dan lumayan lebih enak daripada bakso gerobak kebanyakan, makanya tidak heran kalau bakso Pa’De selalu ramai sejak tendanya digelar. Harganya pun relatif murah, seporsi bakso ukuran regular bisa didapatkan hanya dengan 6.000 rupiah saja. Dan kalau mau mengeluarkan 4.000 rupiah lagi, kita bisa dapat semangkok bakso lengkap dengan tahu kulit dan sebuah bakso besar yang isinya bisa dipilih, isi urat—yang menurut saya cukup empuk, beda dengan bakso urat kebanyakan yang agak keras dan ngotot kalau digigit­­— atau isi telur rebus yang lain dari yang lain karena telur ini setelah direbus, digoreng terlebih dahulu. Setiap pulang kuliah, kalau ada uang cukup biasanya saya menyempatkan diri menyambangi tempat mangkalnya Pa’De ini dan menggalau sendiri antara mau beli yang urat atau yang telur.

Sama seperti biasanya, kemarin sepulang kuliah, saya yang kelaparan dan ngiler dengan aroma bakso Pa’De saat melintas didepannya, kembali membeli seporsi bakso favorit saya itu. Ketika itu yang berjualan bukan Pa’De-nya, tapi anak laki-lakinya dan istri anaknya itu (kalau tidak salah). Saat duduk dan menunggu pesanan saya diracik, saya melongok sedikit kedalam panci besar berisi air mendidih tempat bakso-bakso favorit saya berenang riang. Tapi apa yang saya dapati disana lumayan membuat saya terguncang: sebuah plastik berisi air sedang mengambang terebus bersama bakso-bakso disana. Plastiknya adalah plastik jinjing transparan berwarna putih, yang selalu kita dapatkan kalau membeli sayur, atau nama lainnya kresek. Ya. Kresek. Kresek berisi air itu menggembung didalam panci, direbus bersama air kuah kaldu dan bakso-bakso yang berenang. Saya kurang paham juga buat apa kresek itu direbus disana. Tidak habis pikir malah. Yang jelas, saat melihat kresek itu berendam ditempat yang tidak seharusnya ada kresek direbus disana, yang pertama kali melintas di pikiran saya adalah bahasan seram a la Reportase Investigasi TransTV tentang penggunaan plastik oleh pedagang pinggiran untuk membuat gorengan lebih renyah. Dimana sang narasumber ahli mengatakan bahwa plastik, apalagi yang bukan food grade, mengandung bahan kimia berbahaya yang bisa bermutasi ke makanan bila terkena panas dan tentunya sama sekali bukanlah bahan tambahan untuk makanan.

Dan kresek itu direbus didalam panci berisi kuah kaldu dan bakso yang dihirup , dimakan dan dinikmati para pelanggan yang membayar untuk menikmatinya. Termasuk saya.

Saat merenungi hal tersebut, saya menyadari betapa ignorant-nya saya. Ini bukan sekali-dua kalinya saya makan bakso disini, tapi saya baru menyadari keberadaan kresek berwarna merah yang membungkus pinggiran atas panci tersebut. Dulu saya berpikir mungkin kresek merah itu berfungsi untuk mengganjal tutup panci supaya tidak goyang-goyang. Tapi setelah melihat kresek putih yan direbus didalammnya, saya baru menyadari kalau kresek merah itu juga KRESEK, berada didalam panci panas berisi makanan dan punya kandungan yang sama bahayanya dengan kresek putih yang direbus itu. Saya juga baru sadar kalau setiap hari yang membungkus pinggiran atas panci itu selalu adalah kresek berwarna merah, entah sebenarnya kresek itu diganti setiap hari atau tidak, wallahualam.

Saya ngeri membayangkan yang terjadi. Saya ngeri pada yang tega menyajikan makanan seperti itu dan menjualnya. Saya ngeri pada diri saya sendiri yang meski mengetahui bagaimana makanan tersebut diolah —bercampur dengan segala bahan penumpuk kanker yang punya dampak panjang, di tempat yang seharusnya bukan tempat makan, bercampur asap kendaraan— tapi dengan santainya tetap mengangkat sendok dan melahap bakso-bakso unyu berkandungan kimia dari plastik itu dengan perasaan puas karena kuahnya yang hangat dan rasanya yang enak, serta harganya yang terjangkau.

Saya, dengan segala macam perasaan, tetap memakan makanan kesukaan saya itu sampai habis dan setelah itu membayar sesuai harga porsi yang saya makan sambil tersenyum. Ironis.

Setelah itu, sambil menunggu angkot yang akan membawa saya ke rumah ngetem sampai terisi penuh, saya kembali merenungi kisah ironis itu lagi. Saya masih sangat yakin kalau bakso itu innocent, bakso memang diciptakan untuk dinikmati, dan tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia yang aneh-aneh. Saya paham betul, yang berlaku seperti ini pasti bukan hanya Pa’De seorang, begitu juga yang membeli, tentunya bukan saya seorang. Bakso yang menjadi peran utama cerita saya ini hanyalah salah satu contoh dari produk yang dibuat dan dijual pedagang untuk mendapatkan uang, tanpa memikirkan konsumennya.

Para pedagang, membuat dan menjual dagangannya karena mereka untuk mendapatkan uang dan karena ada yang membeli. Yang membeli, menukar uang hasil jerih payah untuk menikmatinya, karena ada yang membuat dan menjual. Saya hanya merasa ini tidak adil. Kenapa kami para pembeli, yang dengan tulus menukar uang kami yang meski jumlahnya tidak seberapa ini, mendapatkan perlakuan seperti ini. Disajikan makanan dengan kandungan berbahaya dan macam-macam lainnya yang seharusnya memang tidak manusiawi.

Bukankah kita makan untuk hidup?  Bukankah kita capek-capek bekerja supaya bisa makan, supaya bertahan hidup? Kenapa pada kenyataannya, malah kita dengan sukarela membayar untuk makanan yang perlahan membunuh kita? Kenapa kita memaklumi saja disajikan makanan yang dibuat hanya berdasarkan trik supaya laku tanpa memikirkan kita?

Dan yang paling utama, kenapa ada sesama manusia yang berlaku tidak adil terhadap manusia lainnya, misalnya dengan membuat dan menyajikan makanan untuk orang lain, yang kadang ia pun tahu kalau itu sebenarnya tidak layak dimakan? Bukannya mereka pun juga pasti tidak ingin diperlakukan demikian?

Perenungan saya tentang bakso yang akhirnya meluas ke sikap antar sesama manusia malam itu masih terus berlanjut sampai sekarang. Saya pun tidak berpikir untuk menjauhi makanan-makanan yang dijual karena itu, karena saya pikir saya membelinya dengan uang halal, perasaan ikhlas, dan menikmatinya dengan membaca basmalah sambil bersyukur kepada Yang Memberi saya rezeki untuk bisa menikmatinya dan berdoa semoga uang saya yang jumlahnya tidak seberapa tersebut menjadi berkah bagi yang menerimanya. Saya tidak takut mati hanya karena makan makanan yang diolah dengan tidak higienis dan dengan disengaja mengandung bahan berbahaya. Saya kira saya masih akan makan makanan-makanan yang dijual meski dibuat dengan carayang menurut saya curang itu tanpa perasaan was-was. Karena saya yakin Tuhan akan menjaga saya dari segala perbuatan curang dan keji.

Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam renungan saya, sampai sekarang belum bisa saya temukan jawabannya. Berlaku tidak adil pada sesama manusia, meski dalam hal kecil seperti makanan… Sebenarnya masihkah kita ini manusia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun