Bab 4: Dunia di Luar Diriku
"Menemukan kebebasan dalam keberanian untuk mempertanyakan segalanya."
Setelah menggali dalam-dalam pada diriku, aku mulai merasakan dorongan untuk melihat kembali ke luar, ke dunia yang selama ini kusebut sebagai "kenyataan." Dalam proses ini, Descartes menantang ku untuk mempertanyakan: Bagaimana aku bisa yakin bahwa dunia di luar pikiranku benar-benar ada?
 Jika aku hanya yakin akan keberadaan ku sendiri, bagaimana dengan hal-hal yang kulihat, ku sentuh, dan kudengar? Adakah mereka sungguh-sungguh nyata atau hanyalah ilusi yang terbangun dari pikiranku sendiri?
Aku mulai mengamati hal-hal di sekitarku dengan cara yang berbeda, seolah-olah aku adalah seorang asing yang baru pertama kali melihat dunia. Pohon di luar jendela, suara hujan, bahkan kehadiran orang-orang di sekitarku---semuanya mulai terasa seperti misteri yang harus ku pecahkan.Â
Descartes membimbingku untuk bertanya, "Apakah mungkin ada kekuatan yang lebih besar, yang mempengaruhi dan menciptakan realitas ini?" Ia menyebutnya sebagai "Tuhan," atau sebuah esensi yang jauh lebih tinggi yang mungkin menjadi sumber dari segala sesuatu.
Dalam perjalanan ini, aku menyadari betapa besarnya dunia yang kulihat, tetapi juga betapa rapuhnya keyakinanku tentang dunia ini. Descartes meyakinkanku bahwa keberadaan Tuhan menjadi dasar dari realitas yang objektif. "Jika Tuhan ada," pikirku, "maka Ia tidak akan membiarkanku tertipu oleh ilusi sepanjang hidupku." Tuhan, dalam pemahaman Descartes, adalah kebenaran tertinggi yang menuntun kita pada realitas sejati.
Aku mulai merasa bahwa realitas bukanlah sesuatu yang dapat kupegang atau ku sentuh secara fisik saja, tetapi juga harus dilihat dengan ketulusan hati dan pemahaman yang lebih dalam. Dunia di luar sana bukan sekadar ilusi jika aku mampu melihatnya sebagai cerminan dari kekuasaan yang lebih besar, yang menghubungkan semua hal dalam satu kesatuan. Realitas ini menjadi jauh lebih bermakna ketika aku mulai memandangnya sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar objek yang kasat mata---sebagai bagian dari sebuah tatanan yang lebih besar.
Namun, Descartes tidak memintaku untuk menerima segala sesuatu secara buta. Ia mendorongku untuk tetap mempertahankan keraguan yang sehat, sambil menerima kemungkinan bahwa ada kebenaran di luar yang bisa kutemukan jika aku terus mencari. Ini bukan soal menolak kenyataan atau mempercayainya sepenuhnya; ini adalah soal berani membuka diri terhadap realitas yang kompleks, yang mungkin tak akan pernah sepenuhnya ku pahami.
Aku akhirnya menyadari bahwa dunia di luar diriku, meskipun kadang tampak asing dan tak terjangkau, adalah bagian dari perjalanan pencarian diriku. Dalam setiap hal yang kulihat dan kurasakan, ada lapisan-lapisan kebenaran yang menanti untuk diungkap. Dunia ini bukan hanya sekadar cerminan dari pikiranku sendiri, tetapi mungkin adalah bagian dari kebenaran yang lebih besar, yang memintaku untuk terus bertanya dan terus mencari.