Bab 3: Menghadapi Aku yang Sejati
"Merenungkan keberadaan dunia luar dan mencari titik pasti dalam diri."
Keraguan telah membawaku pada suatu titik di mana aku merasa hanya ada satu hal yang tersisa---diriku sendiri, atau lebih tepatnya, pikiranku. Di sinilah aku mulai memahami lebih dalam makna dari Cogito, ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada. Kalimat yang sederhana, tetapi begitu mendalam.
Aku mencoba berdialog dengan diriku sendiri, merenungi apa yang membuat keberadaanku ini nyata. "Jika aku meragukan segalanya," pikirku, "lalu apakah yang masih bisa aku yakini?" Seperti Descartes, aku sampai pada kesadaran bahwa meskipun aku bisa meragukan dunia di sekitarku, aku tidak bisa meragukan bahwa aku adalah makhluk yang sedang berpikir. Inilah inti dari eksistensi yang tak bisa digoyahkan.
Di momen itu, aku mulai merasa lebih dekat dengan diriku yang sejati---aku yang berada di balik topeng-topeng sosial, di balik bayang-bayang ekspektasi dan rasa takut. Keraguan yang kurasakan justru mengajarkanku tentang keberanian untuk melihat diriku apa adanya, tanpa ilusi. Tidak ada lagi yang bisa ku salahkan atau ku elakkan. Aku berdiri di hadapan refleksi diriku yang sesungguhnya, yang selama ini mungkin ku sembunyikan di balik kenyamanan dan rutinitas.
Dalam percakapan batin ini, Descartes seolah menegaskan bahwa menemukan "aku" yang sejati berarti menemukan pusat dari segala pemikiranku. Ia menyebutnya sebagai substance thinking, atau substansi berpikir, sesuatu yang mandiri dan tidak tergantung pada dunia luar. Aku merasa seakan-akan tersadar bahwa segala sesuatu yang ada di luar hanyalah cangkang, sedangkan esensi sejati terletak dalam kesadaranku.
Namun, bersamaan dengan itu, aku juga menyadari betapa beratnya menerima diriku yang sejati. Segala perasaan takut, keinginan, keraguan, dan penyesalan tampak begitu nyata. Descartes tidak menawarkan jawaban atas apa yang harus kulakukan dengan diriku ini; ia hanya menunjukkan bahwa keberadaan ku adalah kenyataan yang tak terelakkan. Dari sinilah muncul tantangan baru: menerima diriku apa adanya, sekaligus berani menghadapi kelemahanku tanpa perlu menyembunyikannya.
Aku mulai memahami bahwa eksistensi bukan sekadar tentang ada atau tiada, tetapi tentang menerima keberadaan diri yang selalu mencari, yang selalu meragukan, dan yang selalu ingin memahami. Di sinilah, dalam perjalanan untuk bertanya dan menemukan diriku yang sejati, aku merasa bahwa setiap keraguan yang kumiliki menjadi langkah menuju pemahaman yang lebih dalam.
Descartes seolah tersenyum dalam benakku, berkata bahwa dalam diriku sendiri, aku telah menemukan jawaban. Di sinilah aku, berdiri sebagai substansi yang berpikir, mengarungi dunia dengan keberanian baru, bukan untuk menemukan kepastian yang mutlak, tetapi untuk menikmati pencarian yang tak pernah usai. Aku mulai menerima bahwa diriku adalah pertanyaan yang tak pernah berhenti, dan mungkin itulah yang membuatku benar-benar ada.
Catatan kaki: