Mohon tunggu...
Fajrin Bilontalo
Fajrin Bilontalo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Gorontalo

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Roman

Tangguh Dalam Sunyi

14 Oktober 2024   01:15 Diperbarui: 14 Oktober 2024   01:15 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: google.com/bersosial

Di sebuah rumah kecil yang sunyi, seorang anak tunggal tumbuh dengan keheningan yang berlapis. Tiada suara riuh tawa saudara atau canda di meja makan, hanya gema suara orang tua yang terkadang terdengar lebih berat dari kenyataan. Tapi di wajahnya, selalu ada senyum. Bukan senyum kepura-puraan, melainkan senyum yang lahir dari kesadaran akan tanggung jawab yang ia genggam erat.

Setiap langkah yang ia tapaki terasa sepi, tapi di dalam sepi itu, ia mengukir impian. Saat orang lain bertanya bagaimana rasanya menjadi satu-satunya, ia hanya tersenyum tipis dan menjawab, "Aku baik-baik saja." Padahal di balik kata-kata itu, ada segudang beban yang ia pikul, harapan orang tua, bayang masa depan, dan keinginan untuk tidak mengecewakan mereka yang menyayanginya.

Di luar, ia tampak tangguh. Seorang anak yang mampu menahan segala tuntutan dan ekspektasi dengan tenang. Namun di dalam dirinya, kadang ada pertempuran yang tidak pernah selesai. Ia merasakan kesepian di tengah keramaian, kerinduan akan sahabat sejati yang bisa mendengar, tanpa menghakimi. Tapi ia sadar, kesunyian itu pun adalah bagian dari perjalanan yang harus ia jalani.

Senyum yang ia pancarkan adalah bentuk keikhlasan. Sebuah ungkapan bahwa ia tahu betul, hidup ini bukan selalu tentang apa yang ia inginkan, melainkan tentang apa yang harus ia berikan. Dan di saat-saat yang paling sunyi, saat semua orang telah tidur, ia masih duduk memikirkan hari esok dengan senyum yang sama, senyum seorang anak tunggal yang menanggung beban, tapi tetap memilih untuk berdamai dengan takdirnya.

Senyumnya adalah jembatan antara dirinya dan dunia. Di baliknya, tersimpan kekuatan yang tak kasat mata, kekuatan untuk terus melangkah meski beban yang ia pikul semakin berat. Dan dalam setiap helaan napasnya, ada doa yang selalu ia titipkan kepada angin, agar suatu saat, ia bisa membuktikan bahwa ia mampu, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk mereka yang menggantungkan harapan padanya.

Penulis: Fajrin Bilontalo 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun