Di sebuah senja yang memerah, aku berdiri diujung kebimbangan, menikmati detik-detik pertemuan yang entah sampai kapan dan bagaimana akhirnya.
Aku tidak pernah berbicara tentang usia, tapi aku selalu menyadari bahwa waktu adalah satu-satunya penghalang antara cinta yang ku genggam. Usia, bagi sebagian orang hanyalah angka. Namun, bagiku dan bagimu, usia adalah tembok tinggi yang tidak bisa begitu saja kita runtuhkan.
Aku mencintaimu dalam diam, membiarkan percakapan kita dipenuhi oleh tawa yang sesekali terselip keheningan. Setiap kali tatapanmu bertemu denganku, aku bisa merasakan bahwa kita sama-sama menyadari jarak itu. Aku dengan masa mudaku, sementara kamu dengan masa yang sudah berlalu setengahnya. Aku ingin meraih tanganmu, tetapi takut memenjarakanmu dalam kehidupan yang mungkin tidak kamu inginkan.
Ada saatnya aku berpikir, apakah cinta ini salah? Apakah usia benar-benar menjadi tolok ukur dari layak atau tidaknya sebuah perasaan? Namun, semakin dalam aku mencintaimu, semakin aku menyadari bahwa cinta tidak pernah meminta izin pada angka. Cinta datang tanpa aba-aba, dan pergi pun tanpa peringatan. Tetapi, tetap saja aku tahu, masyarakat, keluarga, dan bahkan kamu mungkin pada akhirnya akan bertanya, apakah aku orang yang tepat bagimu?
Seiring waktu berjalan, aku belajar menerima kenyataan bahwa cinta, sebagaimana kuatnya, bisa kalah oleh logika dan usia. Aku masih di persimpangan hidup, sementara kamu sudah menapak lebih jauh. Aku tak ingin membebani mu dengan kekhawatiranku, dengan ketakutanku akan apa yang akan datang. Kau berhak atas masa depan yang cerah, tanpa bayang-bayang masa lalu mu yang kadang terlalu pekat untuk dilupakan, demikian juga diriku
Mungkin, di kehidupan lain, usia bukanlah penghalang. Di dunia lain, cinta kita bisa bebas mengalir tanpa harus terhenti oleh hitungan tahun. Tapi di sini, di dunia ini, kita harus berdamai dengan kenyataan. Aku mencintaimu, tapi terkadang cinta saja tidak cukup.
Kau tersenyum padaku sore itu, senyuman yang aku tahu hanya akan menjadi kenangan yang indah. Aku membalas senyummu, meski hatiku tahu bahwa setelah ini, jalan kita tidak lagi akan searah. Dan mungkin itulah akhir yang seharusnya. Sebuah cinta yang indah, tetapi tak harus memiliki.
Penulis: Fajrin BilontaloÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H