Di kedalaman aroma kopi, terselip kisah yang tak pernah selesai. Aku duduk di sudut kafe, mataku tertuju pada dua cangkir di meja. Arabika di tangan kiriku, Robusta di tangan kananmu. Dua biji kopi yang berbeda, tapi di antara mereka ada persamaan, sama-sama pahit, tapi menghadirkan kenikmatan yang tak bisa dijelaskan.
Tekstur Arabika lebih halus, katamu. Akupun membenarkan itu, sebab Arabika membawa kelembutan yang menghanyutkan. Ia menyerupai bisikan cinta yang pertama kali aku rasakan; pelan, manis, dan meninggalkan bekas hangat di dada.Â
Demikian juga dengan Robusta, di sisi lain, ia menyimpan kekuatan dan kepahitan yang lebih tegas. Seperti perjuangan ku waktu itu; tak mudah, tak selalu manis, tapi memberi kekuatan untuk bertahan.
Di antara kedua kopi itu, aku menemukan cinta yang tak biasa. Seperti Arabika yang membutuhkan daratan tinggi untuk tumbuh sempurna, dan Robusta yang kuat meski ditanam di dataran rendah. Cinta pun demikian, ia tumbuh di tengah perbedaan, namun tak pernah kehilangan maknanya.
Tapi dalam perbedaan itulah aku belajar, bahwa cinta tak harus seragam. Ia bisa lembut dan kuat, manis dan pahit, bahkan hadir dalam bentuk yang tak terduga. Dan seperti kopi yang memerlukan proses; proses menyeduh, menunggu, hingga akhirnya sempurna dalam setiap tegukan.
Di antara Arabika dan Robusta, aku menemukan cinta yang tak hanya tentang rasa, tapi juga tentang bertahan, meski pahit itu bagian dari perjalanan.
Penulis: Fajrin Bilontalo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H