Konseling di era abad 21 semakin lama semakin berkembang. Mulai dari pendekatan baru yang bermunculan, pemanfaatan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman, hingga cara pandang konselor terhadap sebuah masalah. Awalnya, konselor menekankan penyelesaian masalah yang menekankan kepada konseli sebagai individu yang memiliki masalah. Akan tetapi, masalah konseli yang sangat beragam terdapat kesamaan yang bersifat universal, seperti ras, etnis, gender, jenis kelamin, orientasi seksual, wilayah, dan dinamika keluarga.
Masalah-masalah yang didasari oleh konsep multikultural ini dinilai memiliki tiga kesamaan, yakni hal yang penting adalah mengenai kekuatan konseli, keinginan untuk berubah ke arah positif, dan adanya penghalang dari lingkungan bagi mereka terhadap perkembangan masalah mereka (Lewis dkk, 2010). Hingga pada akhirnya, para konselor membentuk suatu cara pandang yang dikatakan melihat dari lensa yang lebih luas dibanding sebelumnya, yang dinamakan Konseling Komunitas Abad 21.
Konseling komunitas menekankan bahwa perkembangan manusia bukan hanya ditentukan oleh manusianya itu sendiri, akan tetapi lingkungan sangat berperan penting. Lingkungan yang baik bisa saja membawa manusia melewati batas potensinya. Lingkungan yang buruk juga bisa menyebabkan manusia menjadi underachiever. Dengan cara pandang yang baru mengenai lingkungan, konselor bisa membuka cara pandang yang baru untuk membantu konseli menyelesaikan masalahnya.
Begitupun dengan masalah citra tubuh, konselor di abad 21 sesuai dengan konsep konseling komunitas lebih dituntut untuk memandang masalah tersebut secara lebih luas. Hal ini muncul karena memang masalah yang ada di era sekarang sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang setiap detiknya mempengaruhi kehidupan kita. Konselor pun diharapkan untuk tidak menekankan penyelesaian kepada konseli, karena bisa saja masalah citra tubuh ini tidak bisa diselesaikan konseli bukan karena konseli tidak mampu, tetapi karena lingkungan yang ada membatasi diri dari perubahan.
Citra tubuh merupakan masalah yang berkaitan dengan kondisi tubuh seseorang. Schilder (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) menyatakan bahwa citra tubuh adalah gambaran tubuh yang dibentuk oleh pikiran kita. Remaja perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki mengenai pandangan citra tubuhnya sendiri. Remaja perempuan biasanya menginginkan badan yang ideal dan langsing, terutama bagian perut, paha, dan pipi. Remaja laki-laki sebisa mungkin menghindari penampilan yang gemuk pula dan berusaha menumbuhkan otot di lengan, dada, ataupun perut.
Laki-laki dikatakan memang tidak sebanyak perempuan dalam mengalami masalah citra tubuh (Brennan, Balonde & Bain, 2010). Namun, tetap saja tidak memungkiri bahwa terdapat masalah citra tubuh di remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan citra tubuh merupakan masalah yang umum dan bisa terjadi kepada siapapun bagi orang yang memiliki tubuh.
Citra tubuh yang negatif dikatakan dapat membuat seseorang menjadi memiliki harga diri yang rendah, depresi, cemas, takut akan evaluasi negatif, dan kecenderungan perilaku OCD (Cash & Pruzinsky, 2002). Ketakutan-ketakutan yang dialami dalam citra tubuh dialami lebih banyak oleh pengaruh lingkungan daripada pengaruh diri sendiri. Lingkungan seperti keluarga, media massa, relasi sosialnya, yang bisa saja menghalangi konseli untuk merubah pola pikir mengenai tubuhnya.
Jenis kelamin tentu saja bukan satu-satunya aspek multikultural yang mempengaruhi cara pandang seseorang mengenai citra tubuhnya. Cara pandang yang negatif ini bisa muncul dari lingkungan tempat tinggal wilayah seseorang. Seseorang yang sedang menjalani terapi untuk memperbaiki citra tubuhnya bisa saja gagal bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena pengaruh orang-orang yang berada di dekatnya.
Biasanya hal yang terjadi disebabkan oleh orang-orang yang di sekitar wilayah kita berada adalah ejekan-ejekan mengenai ciri fisik. Meskipun niatnya bercanda, tidak ada yang tahu apakah seseorang menerima ejekan fisik itu sebagai candaan, atau malah memperburuk keadaan. Kasus yang terjadi kepada konseli saya yaitu dia merasa tidak kuat dengan ejekan tersebut sehingga lebih menutup diri di rumah dan tidak beraktivitas di lingkungan sosial.Â
Masalahnya mungkin terlihat dia menutup diri, tapi ternyata, lingkungannya memang tidak menerimanya sehingga menyebabkan dirinya takut akan evaluasi dari orang lain. Hal seperti ini juga disinggung dalam konseling komunitas. Webb & Zimmer-Gembeck (2014) menambahkan mengenai risetnya yang dilakukan selama 15 tahun, menemukan bahwa percakapan teman sebaya yang sifatnya mengejek baik secara eksplisit atau implisit menghasilkan kesedihan dan tekanan terhadap citra tubuh seseorang
Selain lingkungan yang berada di dekat seseorang, lingkungan yang jauh tetapi masuk secara langsung seperti media juga dapat mempengaruhi. Media diketahui biasa digunakan untuk membranding cara pandang orang mengenai sesuatu hal yang tujuannya untuk mempromosikan suatu produk. Vonderen & Winally (2012), menemukan bahwa media menjadi salah satu faktor munculnya citra tubuh negatif konseli.