Aku tuliskan malam yang bersajak ini untukmu. Yang jauh namun dekat, yang bahkan hingga saat ini belum sempat kukenali rona wajahnya. Entah memerah atau sepekat malam.
Aku ingin merasakan lagi bagaimana tubuhku berguncang sebab matamu itu. Rindu ini tak sekedar selinting garis yang membentangi arahku. Tak hanya tembok semu yang menimpa sendi-sendiku. Aku merasa kaku, rindu yang buatku pilu.
Namun, manakala ada sebuah rindu lain yang tersemat, aku bisa apa? mati pun tak bermakna. Hanya kehampaan dan sisi gelap yang menyeruak dari sekat-sekat yang sebenarnya ingin kututup rapat darimu. Tapi tanganmu membantuku membukanya.
Aku tau pasti.
Kadang aku pun cemburu pada hujan yang jatuh berteriak. Lepas, menetes, membasahi dahi hingga menyentuh bibirmu. Menikmati aromamu yang luruh dan mengalir. Sungguh, aku ingin menyematkan jemariku di bahumu, meraba sisa kehangatan yang masih tertinggal meski hanya segenggaman.
Tuhan, jika hujan ini bukan milikku, jika rintikan itu bukan aku, pantaskah aku kecewa?
Lalu mengapa aku kecewa?
Kutengadahkan wajahku hingga terbenami air mata, apa masih tak terlihat?
Aku takut menguap begitu saja seperti hujan yang berbenturan di tanah.
Aku takut sendiri. Apa rintik itu masih bukan aku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H