[caption id="attachment_199861" align="aligncenter" width="658" caption="Foto: telegraph.co.uk"][/caption]
Sekali lagi hal fundamental dari keyakinan umat Muslim diolok-olok. Nabi Muhammad SAW dinistakan lewat Innocence of Muslim. Film laknat itu diproduseri seorang penganut Koptik, Nakoula Basseley Nakoula. Alan Roberts, yang biasa membuat film-film cabul, menjadi sutradaranya.
Tak mungkin tanpa motif. Hanya saja sejauh ini kita belum mengetahuinya, selain untuk menebarkan kebencian terhadap Islam. Pastinya reaksi yang merenggut nyawa sudah terjadi. Duta Besar Amerika Serikat di Libya, Christopher Stevens, dan tiga warga sipilnya tewas diroket para demonstran yang marah. Kemarahan umat Muslim meluas di mana-mana, tentu juga di Indonesia. Yang dilakukan umat Muslim adalah akibat. Di satu sisi aksi protes yang berujung kekerasan adalah salah. Stevens bukanlah orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas ulah Nakoula dan Roberts. Yusuf Qardhawi mengingatkan umat Islam agar tidak megeneralisir dan menghukum orang-orang tak bersalah. Namun di sisi lain kaum pembenci Islam tak pernah belajar. Selalu ada darah yang tumpah jika kehormatan Islam diinjak-injak. Sejarah adalah rentetan kejadian. Alurnya ditentukan oleh individu-individu dan tindakan mereka. Ada aksi, ada reaksi. Ada sebab, tentu ada akibat. Sentimen buruk kebencian pasti menjadi noda di dalam cerita sejarah. Kita yang hidup pada masa ini menyaksikan dunia tak pernah sepi dari kabar tentang pertikaian. Betapa banyak pihak yang masih terus menebar kebencian terhadap keyakinan yang berbeda. Pasca-9/11 hingga saat ini Islam masih menjadi tertuduh. Kebencian terhadap Islam juga masih terus diprovokasi. Jauh setelah Salman Rushdie dengan Satanic Verses-nya, kita bisa menyebut nama-nama seperti Theo Van Gogh, Ayaan Hirsi Ali, Kurt Wetergaard, dan Geert Wilders. Van Gogh, sutradara Belanda, dan Hirsi Ali, politisi Belanda keturuan Somalia, menghina Islam dengan film Submission. Dalam film yang dibuat pada tahun 2004 itu digambarkan perempuan Islam yang kerap dianiaya suaminya. Perempuan dalam film itu mengenakan pakaian transparan, dan di tubuhnya dituliskan ayat-ayat Alquran. Akibatnya, pagi suatu pagi di tanggal 2 November 2004, saat tengah bersepeda menuju tempat kerjanya, Van Gogh dibunuh Mohammed Bouyeri, seorang warga Muslim keturunan Maroko. Untung saja Hirsi Ali tak bernasib serupa karena mendapat perlindungan dari Pemerintah Belanda. Adapun Bouyeri kini menjalani hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Tak lama berselang, pada 30 September 2005, surat kabar Denmark Jyllands-Posten memuat kartun menghina Nabi Muhammad. Kartun yang dibuat oleh Kurt Westergaard menyulut kemarahan Muslim sedunia. Sedikitnya 50 nyawa melayang. Hidup Westergaard pun tak nyaman. Ke mana pun pergi, ancaman pembunuhan mengintai. Pada tahun 2008 kebencian terhadap Islam disebarkan oleh Geert Wilders, politisi ekstrem sayap kanan Belanda. Wilders membuat film Fitna dan merilisnya di situs Liveleaks. Dalam Fitna dimunculkan karikatur buatan Wetergaard. Di bagian lain film itu, muncul rekaman serangkaian peristiwa teror, yang diiringi dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Ayat-ayat itu, menurut Wilders, menjadi legitimasi dilakukannya kekerasan oleh Muslim. Kini dunia tengah bersusah payah membangun harmoni di antara pemeluk agama, di antara peradaban yang berbeda. Pemerintah Indonesia adalah termasuk yang aktif dalam merajut komunikasi antara Islam dan Barat, untuk menghapus fobia terhadap Islam atau islamofobia. Istilah tersebut merujuk pada prasangka dan diskriminasi terhadap Islam dan umat muslim. Istilah islamofobia sudah muncul sejak 1980-an, dan semakin populer semenjak peristiwa 11 September 2001. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan pernah menyebutkan, prasangka anti-Islam merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sama seperti anti-Semitisme. Kita tentu sepakat, prasangka terhadap suatu keyakinan adalah hambatan utama bagi perdamaian. Sementara mengurangi prasangka terhadap keyakinan yang lain dapat membawa para pengikut dari agama berbeda semakin dekat. Karenanya, segala penghinaan terhadap keyakinan lain harus dihentikan. Sebab jika terus dilakukan, maka ekstremisme agama akan terus muncul sebagai reaksi dan bentuk pembelaan terhadap nilai ketuhanan yang diyakini pelakunya. Jika sikap intoleran semacam Innocence of Muslims terus dibiarkan, bukan tidak mungkin tesis Samuel Huntington tentang terjadinya benturan antarperadaban bakal terjadi. Impian terciptanya harmoni di antara umat manusia pun akan menjadi mimpi belaka. Karenanya Hirsi Ali, Wetergaard, Wilders, dan kini Nakoula serta Alan Roberts adalah musuh peradaban yang harus mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya. Sebab mereka sesungguhnya adalah musuh peradaban, yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H