Mohon tunggu...
Nurfajri Budi Nugroho
Nurfajri Budi Nugroho Mohon Tunggu... -

Pernyuka isu-isu politik, ekonomi, dan hubungan internasional | www.papapuan.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi yang Berlebihan*

28 Maret 2012   03:09 Diperbarui: 4 April 2017   17:53 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Man is born free, and everywhere he is in chains” (Jean-Jacques Rousseau)

Ketika Presiden SBY mengungkapkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 7 Maret lalu di hadapan Rapat Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN), sudah dapat diramalkan akan muncul gejolak di masyarakat. Kini penolakan sudah terjadi meluas hingga sejumlah daerah, dan partai-partai politik masih melakukan tarik ulur, meski sudah ada pertemuan di Cikeas pada 14 Maret malam.

Gejolak dapat dimaklumi, karena kenaikan harga BBM berefek pada kenaikan harga bahan pokok dan ongkos transportasi masyarakat. Bahkan kenaikan harga telah terjadi tiga pekan sebelum harga baru BBM diberlakukan. Meskipun berdasarkan pengalaman, hal itu hanya berlangsung beberapa bulan, sampai harga-harga itu menemukan titik ekuilibriumnya.

Akan tetapi yang tidak dapat dimaklumi adalah gejolak yang menimbulkan keresahan sosial di masyarakat. Penolakan oleh sebagian kelompok masyarakat dilakukan dengan cara-cara di luar akal sehat dan diwarnai aksi perusakan serta mengganggu ketertiban umum. Mereka melakoni demokrasi secara berlebihan dan salah kaprah, meminjam terminologi “too much democracy” dari Jonathan Tepperman (2008). Salah kaprah itu merujuk pada fenomena di mana negara-negara Barat yang melahirkan demokrasi justru mulai mengurangi “kebebasan tak terbatas”, sementara praktik demokrasi negara-negara di Asia justru diwarnai dengan aksi amuk yang berlebihan.

Bangsa ini sesungguhnya masih merayakan demokrasi yang secara utuh diraih semenjak gelombang Reformasi tahun 1998. Proses transisi dari rezim otoritarian ke era yang demokratis telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau negara-negara di belahan Eropa, umur demokrasi di Indonesia terbilang muda. Namun mengingat otoritarianisme sudah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa di negeri ini, maka perjalanan transisi yang terhitung singkat itu bisa dikatakan berhasil. Kita ingat ketika gelombang Reformasi berlangsung dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia diramalkan menemui kehancuran. Semua indikator menunjukkan Indonesia tidak akan menjadi negara yang demokratis.

Faktanya, kini Indonesia disebut-sebut sebagai negara demokratis ketiga di dunia karena dua kali berhasil menyelenggarakan pemilihan umum langsung. Kebebasan pers, sebagai salah satu indikator keberhasilan demokrasi, berlangsung mulus tanpa dibayang-bayangi ketakutan sebagaimana terjadi di masa silam. Kelompok oposisi bisa berteriak lantang tanpa perlu takut terhadap ancaman dari penguasa. Dari sisi perekonomian, Indonesia berhasil tumbuh dengan rata-rata 6%, dan negeri ini masuk ke dalam kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Sungguh sebuah prestasi.

Namun sangat disayangkan prestasi-prestasi tersebut masih dinodai oleh rentetan aksi-aksi kekerasan dan premanisme dengan berbagai motif dan latar. Ruang kebebasan dimanfaatkan secara salah dan berlebihan, dan mengabaikan hak kebebasan kelompok lainnya. Ironisnya, rentetan kekerasan kerap digerakkan oleh kelompok-kelompok intelektual maupun oleh kelompok-kelompok yang mengusung panji-panji suci Tuhan. Ada yang berpendapat itu semua adalah risiko dari masa transisi di belahan bumi manapun. Tetapi bagi kelompok kontra kekerasan, kondisi tidak tertib yang dilakukan sekelompok masyarakat adalah noda bagi demokrasi. Anarkisme yang di masa lalu dilakukan negara, kini justru dilakukan masyarakat.

Peran  Media Massa

Media tidak pernah bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai demokrasi. Sebab peran media dalam demokrasi sama pentingnya dengan peran partai politik. Tanpa media massa, keterbukaan dan akuntabilitas tidak mungkin terwujud dalam demokrasi kontemporer saat ini. Namun demikian, media massa sebaliknya juga dapat menghambat transparansi.

Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya, berbagai argumentasi, analisis, maupun data-data yang dipaparkan pemerintah mengenai urgensi menaikkan harga BBM mendapatkan porsi yang sedikit dibandingkan dengan pemberitaan mengenai penolakannya. Media lebih tertarik untuk mengangkat gelombang-gelombang penolakan yang diwarnai kekerasan, ketimbang substansi mengenai kenaikan harga BBM. Narasi yang dituturkan oleh pembaca berita di televisi sangat miskin analisis dan banyak menggunakan kata-kata yang justru memancing amarah publik. Misalnya sebuah stasiun televisi berulang kali menggunakan kalimat “kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat” dalam setiap berita mengenai kenaikan harga BBM.

Secara teoritis, setidaknya, media massa dapat mendorong sistem politik yang lebih “adil” dalam tiga aspek. Pertama, media massa dapat membantu orang memahami kebijakan-kebijakan pemerintah, berpartisipasi dalam keputusan politik, dan menjaga agar para pejabat pemerintahan bertanggung jawab. Namun sayangnya kedigdayaan untuk mempengaruhi opini publik dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan di balik kepemilikan media yang “kawin” dengan kepentingan politik. Politisi dan para operator politik pun mendapatkan ruang untuk mengaburkan fakta melalui retorika dan manipulasi di media massa.

Etika Demokrasi

Jean Jacques Rousseau pernah berpendapat, demokrasi suatu ketika dapat berubah menjadi totaliter jika terjadi pemaksaan kehendak oleh suatu kelompok terhadap yang lainnya. Demokrasi menjadi totaliter apabila suatu kelompok memutlakkan kehendaknya. Untuk menanggulangi itu, etika politik tidak hanya harus mengemukakan tuntutan legitimasi demokratis, melainkan juga batas-batas hak demokrasi. (Franz Magnis-Suseno, 1987)

Secara etis harus dipahami tidak ada hak kebebasan yang tak terbatas. Tidak ada pihak manapun di dunia yang memiliki hak memaksa agar kehendaknya terlaksana. Batasan kehendak sebuah kelompok ada pada kelompok lainnya. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa ekspresi kebebasan yang mengatasnamakan demokrasi dan dilakukan dengan cara-cara yang anarkis, sesungguhnya mengganggu hak kelompok yang lainnya. Bagi Maximilien Robespierre, kehendak sebuah kelompok harus mengikuti norma-norma hukum.

*Dimuat di harian Jurnal Nasional, Rabu 28 Maret 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun