Fakta-fakta tersebut menunjukkan masih tingginya angka kekerasan bertameng agama. Padahal perilaku kekerasan jelas bertentangan dengan doktrin semua agama yang menyerukan perdamaian dan cinta kasih. Kekerasan bertameng agama justru menempatkan agama, yang sejatinya merupakan pembawa kebenaran, kebaikan, dan cinta kasih, ke dalam posisi tersudut.
Dalam konteks kekinian, bentuk-bentuk kekerasan agama kerap dihubung-hubungkan dengan tumbuhnya radikalisme agama. Paham ini mengedepankan sikap-sikap ekstrem dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi yang dianggap tidak ideal. Karen Armstrong menyebut kekerasan agama sebagai fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20 (The Battle For God, 2000).
Deeskalasi Kekerasan
Dalam merespons aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya telah berulangkali memberikan sikap yang keras. Saat peringatan Hari Pers Nasional di Kupang 9 Februari lalu, misalnya, Presiden menginstruksikan para aparat penegak hukum untuk mencari jalan yang sah dan legal jika perlu dilakukan pembubaran ataupun pelarangan terhadap organisasi atau kelompok yang terus melakukan kekerasan.
Seruan Presiden tersebut semestinya membuat aparat penegak hukum untuk bersikap tanpa keraguan. Menegakkan hukum secara tegas merupakan cara yang mesti dilakukan untuk memulihkan kewibawaan negara yang kerap dilecehkan oleh para pelaku kekerasan. Di sisi lain, pelurusan nilai-nilai menyimpang yang dipahami oleh para pelaku kekerasan perlu diluruskan. Tugas inilah yang harus dimainkan oleh para agamawan, dengan mengajak umatnya untuk bersikap positif, beradab, dan toleran. Bahkan tidak berlebihan pula jika dikatakan para agamawan juga perlu melakukan pertobatan (Frans Magniz Suseno dalam Jurnal Maarif, Desember 2010).
Sikap terbuka, membuka ruang komunikasi, dan komitmen untuk saling hidup berdampingan adalah nilai-nilai yang perlu terus disuarakan. Komitmen ini nantinya penting untuk diinstitusionalisasikan, baik berupa aturan-aturan maupun konvensi-konvensi yang baru. Jalinan komunikasi yang terus terbangun pasca-institusionalisasi harus terus dilakukan, karena bagaimanapun juga, deeskalasi kekerasan akan menjadi tidak berarti karena konflik-konflik sosial kerapkali bersifat laten dan dapat muncul sewaktu-waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H