Dalam sebuah bidang yang berisi angka-angka dan jarum-jarum, ada mata yang tajamnya melebihi kekasatan. Bergerak mengikuti aturan dan mengawasi setiap momennya dengan pasti.
Jarum-jarum yang terdapat dalam bidang itu saling tertumpuk menunjukkan angka teratas. Secepat kedipan mata, jarum jam yang paling ramping dan tinggi bergerak memimpin, mengelilingi permukaan bidang tersebut dari kiri ke kanan. Satu per satu angka yang bertengger dibawahnya ia cumbui. Setiap titik merasakan sentuhannya hanya sedetik bagai membisikkan sesuatu hal yang rahasia. Ditempat sesenyap ini seringkali bisikannya itu terdengar yang paling bersuara. Sementara angka-angka itu tetap terdiam ditempatnya seperti menuruti segala katanya.
Diantara dua jarum jam lain yang menjadi kawannnya, ia memang yang paling lentur bergerak. Cepat dan elastis. Selusin angka-angka itulah yang selalu menunggunya, mengharapkannya datang menghampiri untuk memberikan perubahan dan kabar terbaru. Setelah berputar sepenuh lingkaran, ia kembali lagi pada angka teratas menemui sepasang kawannya lagi.
Ia beritahu juga sepasang kawannya berita yang ia peroleh; zaman belum berdamai sebelum matahari membelalakan matanya. Masa belum sanggup melogikan namanya sebelum terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Ketenangan dapat kembali dirasakan saat alunan kebesaran dan kebahagiaan diperdendangkan manusia-manusia diangkasa melalui balik surau-surau.
Lantas kedua kawannya itu akan berjalan mengendap nyaris tanpa gerak dan suara. Langkahnya gemetar menyingkap isi rahasia kelam. Namun, jarum jam yang paling gemuk dan pendek masih terpaku ditempat sebelum akhirnya jarum tengah berhasil melaksanakan sekali rotasinya, seakan-akan ia tak percaya apa yang dikabar-kabarkan oleh jarum yang paling ramping dan tinggi itu.
Ketiga jarum jam itu menjadi mata yang paling tajam dan hidup ditempat yang sesunyi dan segelap ini. Dan ia, jarum jam yang paling pendek dan gemuk, memiliki sorotan mata yang lebih tajam dan hidup daripada kedua kawannya yang bergerak lebih cepat. Seharusnya ialah yang menjadi kompas dan mengabarkan berita-berita terbaru. Tapi mata yang terlampau tajam dan hidup membuatnya melihat sejelas-jelasnya rahasia kelam itu dibalik malam. Dan, barangkali anak kecil dibawahnya ikut pula merasakan hawa angker rahasia kelam tersebut.
Rahasia kelam itu gaib bentuknya. Tersembunyi dibalik semak-semak malam. Angin yang tak pernah tertangkap indera cahaya apalagi peraba menghalagi tabir-tabir tersebut dari sorotan umum. Logika takkan cukup mampu meraihnya. Bahkan makhluk paling cerdas sekalipun takkan bisa menalar nama waktunya dengan sempurna. Setiap pribadi berbeda-beda menyebutkannya. Mereka baru merasa pasti inilah pergantian, awal dari perhitungan tanggal yang baru. Karena didetik-detik saat ini, zaman tengah berselisih memperebutkan waktunya. Sementara waktu sendiri tengah sibuk mempersidangkan namanya.
Adalah pantas kebanyakan makhluk-makhluk kasar menarik diri dari kehidupannya sementara ini. Mereka memilih menghirup kematiannya diatas alas-alas empuk atau menyisipkan doa-doa dengan khusyuk pada hening, berharap semak-semak malam segera menyingkir dihembus angin berisi penuh permohonan.
Namun dibawah bidang waktu itu, seorang anak kecil masih membuka mata. Pandangannya diliputi kegelisahan. Ia kebingungan. Kegelapan mengerumuninya bak teman setia yang menyandingi keresahannya. Syaraf-syarafnya menegang dengan kewaspadaan yang sempurna. Ia lirikkan pandangannya pada jam yang juga terasa balas menatapnya. Benda itu seolah-olah hidup dalam kematiannya, namun juga sama-sama ketakutannya seperti dirinya. Detakannya terdengar lebih jernih, namun geraknya bagai tertahan ditempat lebih lama. Bahkan terasa diam saja.
Anak kecil itu perlahan-lahan merangkak mendekati daun pintu kamarnya. Ia mengintip keluar melalui lubang kunci pintu tersebut. Debar jantungnya dibebani adrenalin yang terpacu kencang. Semua bayangan benda yang diamatinya diluar membisu ditempat, hadir dalam rupa kepolosan, tetap menjaga bentuknya dari cengkeraman gelap yang mengancam. Sekelebat cahaya dari luar masuk melalui celah-celah rumah, menyisir bayang-bayang tersebut seolah berusaha melepaskannya dari keterpurukan. Lalu beberapa detik kemudian cahaya itu hilang ditelan gelap. Saat itu juga suara deru mesin kendaraan lewat dan tiang listrik yang dipukul-pukul menghentak diudara, memecah keheningan dalam kesenyapan.
Benarkah yang mengendarai sepeda motor dan memukul-mukul tiang listrik pada saat gelap merajai bumi dan udara itu sejenis manusia juga?