Sebelum induk semangku pulang dari Bogor, tepat pukul tujuh pagi, aku mengantarkan Namira hingga ke depan gedung Plaza UOB. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling aku kena denda, tapi membawa teman perempuan menginap, seperti yang telah aku bayangkan, aku akan kena hardik dan usir. Sebagai pemilik rumah, induk semangku bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan sebagaimana orangtua terhadap anak-anaknya. Ketika aku melanggar aturan-aturan ataupun melakukan tindakan diluar moralitas, berarti juga mencoreng nama baik induk semangku.
      Karena tidur menjelang matahari terbit, Iwin masih tertidur dalam kamarnya. Aku bersyukur, karena ia telah meminta bahkan terdengar seperti sebuah peringatan bahwa apabila Namira bangun, aku harus memperkenalkan gadis itu padanya. Biar ia tidak rewel, aku menjawabnya dengan satu anggukan. Tentu saja aku takkan membiarkan hal itu terjadi. Membayangkan ia berjabatan tangan dengan Namira, aku tahu kami akan bersaing. Seperti seorang lelaki yang menemukan berlian di tengah jalan kemudian menganggap barang itu menjadi hak miliknya, aku punya alasan cukup kuat untuk melindungi Namira dari tangan-tangan lelaki jahil semacam Iwin.
      Meski aku tahu induk semangku belum pulang, semacam insting untuk selalu bersikap waspada, aku masih berpikir bahwa ada kemungkinan induk semangku memergokiku bersama perempuan ini atau mungkin saja ada mata yang tak bertanggung jawab mengintip kami. Sehingga sebelum melangkah keluar, aku pastikan suasana di lantai bawah aman terkendali, kemudian kami berjalan mengendap-endap sebagaimana pencuri masuk rumah orang.
      Tetangga sebelah, yang juga berjualan mie rebus dan gorengan dengan bermodalkan etalase saja di pinggiran gang, melihat kami keluar rumah. Untuk meredam rasa curiga, aku menganggukkan kepala dan tersenyum padanya. Dengan kepala tertunduk kami melangkah lewat, seraya aku berharap tetangga sebelah itu tidak berpikir macam-macam dan menganggap kedua manusia yang baru lewat itu sebagai angin lalu, yang takkan memberikan keuntungan atau kepuasan apapun kepada dirinya.
      Melewati beberapa kelokan dalam gang, aku melangkah lebar-lebar, berjalan memimpin di depan Namira. Sejumlah warung kecil-kecilan dengan barang dagangan seadanya mulai buka. Pemilik sekaligus penjaga warung itu, dengan tampang mengantuk, tampak malas-malasan memulai hari ini. Sebuah televisi berwarna seukuran dus mie instan yang terpasang di atas dinding menayangkan sebuah berita. Dengan selintasan saja melihat tayangan televisi itu, aku menerka-nerka informasi apa yang diberitakan acara televisi tersebut. Seperti tahun-tahun lalu, di awal-awal tahun, pemerintah biasanya menghadiahi rakyatnya dengan kenaikan kebutuhan pokok; tarif dasar listrik ataupun bahan bakar minyak. Saat ini, karena aku hampir tak pernah menonton televisi, tak tahu komoditas apa saja yang direncanakan kenaikannya atau persoalan korupsi siapa dan apa yang tengah diperdebatkan.
      Keluar dari kelokan-kelokan gang, kami berjalan menyusuri jalan beton yang berujung tepat di depan Jalan Sudirman-Thamrin. Gubuk-gubuk liar kaum urban yang telah dirobohkan karena adanya pembangunan gedung yang direncanakan sebagai gedung perkantoran ataupun apartemen kembali dibangun di pinggiran jalan beton tersebut, tepat di luar pagar seng area pembangunan gedung tersebut, di atas got-got mampet yang penuh dengan air comberan. Gubuk-gubuk itu terbuat dari kayu dan beratap seng, yang bahkan beberapa diantaranya tak berdinding sebagaimana pos ronda di kampung-kampung. Untuk menafkahi kehidupan mereka sehari-hari, di gubuk-gubuk kayu itu mereka membuka warung makan kecil-kecilan yang sebagian besar pelanggannya adalah pekerja proyek itu sendiri. Entah masih terlalu pagi atau karena tanggal merah, sejumlah orang masih tertidur nyenyak di atas dipan-dipan kayu gubuk tersebut. Membayangkan gedung perkantoran atau apartemen itu selesai dibangun, aku tak tahu akan kemana mereka pergi.
      Pada hari-hari biasa, jalan beton yang terletak di belakang gedung Plaza UOB ini, yang sisi kanan-kiri jalan biasanya dimanfaatkan sebagai lahan parkir sepeda motor, kini terlihat luas, membuat mobil masuk yang biasanya mesti mengurangi kecepatan kali ini terlihat leluasa bergerak. Sejumlah gerobak dan etalase yang mangkal di sekitar Plaza UOB, yang menjual aneka makanan, dan menjadi langganan makan siang para karyawan gedung tersebut, sama sekali tak beroperasi. Tak ada hilir mudik karyawan gedung pagi ini kecuali sejumlah satpam yang tampak lesu seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu.
      Menikmati kota Jakarta selengang ini dengan arus lalu lintas setenang aliran sungai, rasanya kota ini lebih nyaman untuk ditinggali. Air hujan sisa semalam yang seolah-olah telah menjelma menjadi embun menetes dari tempat-tempat tinggi dan menguap di bawah panas matahari seperti liukan uap teh semalam yang disajikan olehku kepada Namira. Sesaat aku menoleh ke belakang dan menghentikan langkah. Melihat Namira berjalan tersendat-sendat mengekorku di belakang, aku merasa bersalah. Wajah perempuan itu pucat. Kedua tangannya bersilangan di atas dada seakan-akan membutuhkan sebuah pelukan. Akibat semalam basah-basahan, tampaknya ia terkena masuk angin.
      "Kamu kedinginan." Entah dorongan dari mana, aku melepas jaket dan memberikannya pada Namira. Sesaat aku mengira Namira akan menolaknya, namun ketika ia sejenak menatap mataku seolah-olah memastikan ketulusanku, ia menerima jaket itu dan mengucapkan terima kasih.
      Kemudian kami berjalan beriringan dan saling menyesuaikan langkah. Merasa seperti pasangan kekasih, aku mengira-ngira bagaimana tanggapan orang-orang melihat kami berjalan berdua seperti ini. Apakah mereka akan menyebut kami pasangan serasi? Aku tergelak memikirkan kemungkinan itu. Namun bagaimanapun juga, seperti kebiasaan pemerintah yang memberikan kejutan-kejutan kenaikan harga di awal tahun, aku merasa Namira adalah hadiah dari Tuhan untukku di tahun baru ini.
      "Sebelumnya aku minta maaf," kata Namira kemudian, "mungkin karena aku merasa terlalu penasaran, semalam aku mengotak-atik kamarku."