Sekali lagi ingat namaku; Darmaji. Ah, siapapula yang bersedia mengingat orang semacam ini. Tapi aku hendak menuliskan sebuah kisah.  Moga-moga saja masih ada sesuatu yang menghibur di dalamnya.
      Perjalanan ini sungguh menyesakkan. Dalam satu jam seharusnya aku sudah tiba di tempat tujuan.       Sepagi ini macet seperti merata di seluruh kota. Sudah dua jam lebih baru menempuh separuh perjalanan. Aku telah bersabar sepanjang jalan. Tak terbayangkan aku harus mengalami ini setiap hari. Bisa-bisa sebagian besar hidupku habis di perjalanan. Nyatanya aku melamar kerja di kota ini. Pagi ini, mau tak mau aku harus mengalami arus lalu lintas yang membosankan ini.
      Bus yang aku tumpangi bergerak tersendat-sendat. Beruntung aku tak perlu berdesak-desakkan dengan sesama penumpang lainnya, meski barisan bangku bus terisi semua. Aku berdiri bergelantungan pada pegangan lingkaran besi, berayun-ayun mengikuti irama gerak bus. Karena bus tak terlalu penuh, aku cukup leluasa bergerak tanpa harus menyenggol penumpang lainnya.
      Aku pikir posisiku lebih baik begini. Kalau duduk paling-paling aku hanya memperhatikan wajah bosan para penumpang serta kekhawatiran mereka tiap kali melihat jam karena takut terlambat. Ada pula penumpang yang duduk bersandar sambil bola matanya bergerak kanan kiri, awas, dan tampak tak tahu apa yang mesti diperhatikan, ada yang tertidur lesu, mendengarkan musik dengan mulut tertutup rapat, atau menunduk terpaku pada layar gawainya sambil sesekali tersenyum sendiri. Meski saling berdekatan, satu sama lain saling merasa asing. Tak ada saling tatap ataupun saling sapa. Tak ada pula tukar senyum ataupun obrolan kecil sekadar basa-basi. Sungguh lebih menyenangkan bergaul melalui internet. Dengan orang yang tak pernah bertemu sekalipun kita bisa membicarakan banyak hal. Dalam kenyataan justru orang lebih ketat memasang rambu-rambu.
Melihat penampilan penumpang kebanyakan, aku tahu mereka adalah sekumpulan pegawai kantoran yang bekerja di gedung-gedung tinggi ibukota. Mereka telah mempersiapkan diri baik-baik, berangkat sepagi mungkin, dan begitu pulang langit sudah terlanjur gelap. Mengingat ada banyak waktu dan emosi yang terbuang percuma, benarkah di Jakarta mereka hanya sekadar bekerja dan mencari kemakmuran----lari dari tuntutan hidup dan kembali untuk memenuhinya?
Kalau hanya demikian maksudnya tentu sia-sia para penumpang bus ini menghabiskan waktunya. Dengan waktu sebanyak itu mereka bisa melakukan banyak hal daripada menahan emosi sepanjang perjalanan.
      Dan apa pula tujuanku bekerja di kota ini? Jelas-jelas apa yang aku putuskan dan aku lakukan saat ini bukanlah bagian dari cita-citaku untuk membangun masa depan.
      Ada hal yang tak ingin aku ingat. Aku berharap aku benar-benar mampu melupakannya. Namun aku malah ingat terus. Rasa-rasanya tak ada yang lebih baik selain hilang ingatan. Aku ingin ini tak menjadi kenangan. Sepahit-pahitnya masa lalu kelak bisa ditertawakan tapi hal ini dapat memicu penyesalan seumur hidup. Ini sungguh-sungguh menganiaya. Apabila terlintas-lintas----aku benar-benar tak bisa lepas memikirkannya----kepala ini akan menerima penatnya sementara dada menggenggam dosanya.
Bisikan-bisikan halus terus mengusik isi pikiranku; menuduhku. Aku tahu sebuah penyesalan dapat ditebus dengan memperbaikinya. Aku tahu juga apabila urusannya hanya sebatas dosa mudah saja aku mengambil langkah taubat; sebuah pengakuan. Bagiku perkara ini sangat rumit. Ini semua tentang keterlambatan. Hanya bisa lunas apabila waktu bersedia aku tarik-ulur.
Sebagai lelaki mungkin aku terlalu perasa dan tampaknya aku mesti sedikit menggunakan pikiran. Kemudian alih-alih hendak melupakannya aku malah mengambil langkah menjauh. Dengan kegugupan semacam buronan aku kabur menuju Jakarta.
      Itulah satu-satunya hal yang masih dapat aku pikirkan.