Dari panasnya area parkir basement, kemudian masuk ke ruang berpendingin membuat suhu tubuhku terasa mendadak anjlok. Menahan dingin, aku merapatkan jaketku dan menyilangkan tangan di atas dada seolah-olah berusaha memeluk diri sendiri. Yang bahkan menurutku suhu di ruang sopir ini terlampau dingin, melebihi dinginnya udara dalam mall Plaza Indonesia itu sendiri, sehingga apabila belum terbiasa, kelamaan berada di sini membuat tubuh kita menggigil dan membutuhkan selimut tebal. Karena itu, aku kagum pada perempuan metropolis yang selalu mengenakan pakaian terbuka di bawah hawa dingin Plaza Indonesia yang kelihatannya disesuaikan dengan udara musim dingin di Eropa sana.Â
Mereka tahan bahkan tampaknya hawa dingin itu tak berpengaruh sama sekali terhadap daya tubuh mereka. Sementara aku, saat awal-awal bekerja di Plaza Indonesia, mesti beberapa kali menggosok punggung dengan balsem atau kayu putih karena masuk angin atau mesti bolak-balik masuk toilet. Udara siang hari dalam Plaza Indonesia memang sama jahatnya dengan udara pada dini hari di luar sana. Tapi seiring waktu aku terbiasa juga, dan mungkin suatu saat, apabila ada rezekinya, aku tak perlu membawa minyak kayu putih atau balsem ke Eropa sana.
Dibandingkan dengan ruang sopir lainnya di Plaza Indonesia ini, yang paling mengesankan dari ruang sopir ini dan mengapa pantas disebut mirip bioskop adalah sebuah televisi layar datar yang terpasang pada salah satu sisi dinding. Sepanjang waktu televisi tersebut menayangkan film-film Hollywood di saluran HBO dan tak ada seorangpun yang tampaknya berani mengganti saluran televisi tersebut ke saluran lainnya. Saat menyaksikan tontonan televisi tersebut, mataku selalu terpicing karena pancaran cahaya biru dari televisi tersebut cukup menyilaukan di tempat segelap ini. Hanya saja di sini tak ada kursi-kursi empuk yang dapat digunakan sebagai sandaran kecuali jejeran kursi plastik berwarna biru yang membuat pantat cepat pegal.
Alih-alih menonton film, sebenarnya ruang sopir ini digunakan sebagai tempat tidur para tenant mall yang menghabiskan waktu istirahatnya. Tanpa memperdulikan kebersihannya, mereka berbaring di atas lantai yang dingin. Di atas lantai tersebut mereka membentuk barisan seperti deretan mayat manusia yang berhasil dievakuasi dari bencana banjir besar ataupun tanah longsor. Ketika aku mengingat kembali pelajaran sejarah tentang perang dunia atau agresi militer Belanda setelah proklamasi kemerdekaan, ruang ini tiba-tiba terasa seperti sebuah kamp konsenterasi atau ruang isolasi yang dipenuhi tumpukan mayat manusia. Dan tentu saja, apabila ruang sopir ini dikosongkan dari nafas manusia tentulah akan memancarkan aura yang menyeramkan.
Di atas deretan kursi plastik berwarna biru yang mirip dengan bangku-bangku penumpang dalam bis kaleng Kopaja telah duduk lelaki kurus berpakaian kemeja kotak-kotak yang terlihat longgar dipakai badannya. Lelaki itu, yang mungkin adalah seorang sopir yang menyetiri kemanapun majikannya pergi dan kini tengah menunggu majikannya selesai belanja, bersandar tenang di atas kursi tersebut sambil menjulurkan kakinya panjang-panjang ke depan. Sepasang tangannya ia sedekapkan di atas dadanya yang sama rata dengan perutnya. Matanya terpaku ke arah layar televisi, namun tak terlalu memperhatikan apa yang tengah ditontonnya itu. Sementara Iwin memilih berbaring tidur di atas lantai yang dingin, aku malah duduk di atas kursi plastik tersebut, tepat di depan lelaki sopir itu.
Saluran HBO menayangkan sebuah film yang cukup laris di Hollywood sana yang sempat aku tonton beberapa tahun lalu. Dalam film itu Angelina Jolie berperan sebagai perempuan semlohai yang jago kelahi bernama Lara Croft. Alih-alih mencoba menghitung berapa senjata api yang tergantung di sekujur tubuhnya, aku malah mengagumi lekukan tubuhnya dan gerakannya yang tangkas. Kedua tangannya tak lepas dari menggenggam pistol dan selalu mengarahkan moncong pistol tersebut sejajar dengan tatapan matanya yang tajam dan selalu waspada.
Menurutku, tiap kali ia melakukan adegan perkelahian, dengan segala kegesitan dan ketangkasannya, aku melihat ia tak berperan sebagaimana petarung seharusnya. Ia tampak berperan sebagaimana seorang penari yang menggoda lawan mainnya yang bertampang dan berpenampilan mafia dengan kegemulaian tubuhnya dan juga bibirnya yang telah dianggap seksi oleh seluruh penduduk dunia. Aku pikir itulah yang disebut keluwesan tubuh seorang wanita yang dibalut dengan kemaskulinan. Aku akui, segagah apapun Angelina Jolie memainkan perannya sebagai gadis jago kelahi dan jago tembak, ia selalu tampil menggoda dan sensual. Tak salah ia menjadi artis papan atas di Hollywood sana, meskipun sebelumnya aku sempat mengira Angelina Jolie adalah artis porno di Amerika sana.
Ketika itu aku masih berusia dua belas atau tiga belas tahun. Seiring maraknya penjualan pemutar VCD dan menjamur rental VCD, aku mulai gandrung pada film-film yang diproduksi di Amerika sana. Kebetulan tak jauh dari sekolahku terdapat tempat penyewaan VCD. Karena aku ingin sekali menonton film Titanic yang legendaris itu, aku beberapa kali mendatangi rental VCD dekat sekolah itu. Tapi aku selalu terlambat dan VCD film Titanic itu selalu keburu dipinjam oleh orang lain. Daripada aku pulang dengan tangan kosong, aku memutuskan melihat-lihat rak yang dipenuhi dengan kepingan-kepingan VCD yang dipinjamkan.
Di tempat penyewaan VCD ini tak ada seorang pengunjung pun kecuali aku seorang. Kepingan-kepingan bundar VCD dideretkan di atas rak-rak kayu seperti barang-barang di toko swalayan atau tumpukan buku di perpustakaan. Sebelum memutuskan hendak menonton film apa dan menjatuhkan pilihan, aku melihat satu per satu kepingan VCD yang dipajang di atas rak tersebut. Seharusnya aku merasa leluasa memilih-milih di tempat yang sepi pengunnjung, tapi begitu melihat penjaga rental yang sesekali melirik ke arahku, aku merasa dicurigai. Barangkali karena hanya aku seorang pengunjung di sini, ia terus memperhatikanku dan merasa tak sabar menungguku untuk segera menjatuhkan pilihan seolah-olah ia mencurigai bahwa aku datang kemari hanya sekadar untuk melihat-lihat saja.
Sempat aku melirik VCD film Indonesia yang beberapa bulan lalu mengguncang perfilman Indonesia sekaligus menggemparkan dunia remaja tanah air. Film itu berkisah tentang sepasang remaja sekolah yang sama-sama mencintai sastra dan puisi. Guru Bahasa Indonesiaku tidak hanya menganggap film remaja tersebut sebagai awal dari kebangkitan perfilman Indonesia, sekaligus sepakat film tersebut sangat layak ditonton oleh para anak didiknya yang kesemuanya masih berusia remaja. Ia bahagia gara-gara film tersebut anak didiknya bersikap lunak terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Menurutnya film tersebut membangkitkan kesadaran para siswa akan betapa pentingnya membaca buku, terutama terkait sastra dalam kehidupan. Meskipun sebagian besar para siswa masih menganggap puisi hanyalah sebuah alat untuk menggombal, menggoda, dan merayu.
Seakan hendak melawan dunia dan anggapan umum yang telah terlanjur beredar dan dipercayai sebagai sesuatu hal yang baik, guru agama justru punya pendapat yang berlawanan. Tak mau ketinggalan dalam euforia bangkitnya perfilman Indonesia, ia ikut menonton film remaja berjudul Ada Apa Dengan Cinta? tersebut. Ia merasa kecewa dan terlonjak kaget seperti halnya orang tersetrum listrik ketika melihat gambar-gambar adegan terakhir memperlihatkan sepasang anak remaja berseragam sekolah berpelukan bahkan tanpa ragu-ragu saling menempelkan bibir dan mengulumnya di bandara yang merupakan tempatnya orang bebas hilir mudik.Â