Merasa lebih hebat dan lebih gaul dariku, Iwin selalu menyombongkan diri bahwa ia pernah nonton film di bioskop beberapa kali; udara AC yang membuatnya harus bolak-balik ke kamar kecil dan kencing lebih lama, layar bioskop yang lebih besar daripada dinding kamar, bersandar di kursi busa yang lebih empuk daripada kasur sendiri, dan suara musik dan dialog film yang seperti mendengarkan raksasa bicara dari balik gunung. Karena aku tahu watak dan warna sisik melik Iwin, seolah-olah dengan menonton bioskop telah membuatnya naik kelas, aku sama sekali tak tergoda untuk menanggapinya. Pilihan terbaik menanggapi segala ocehan dan bualan Iwin adalah berpura-pura mendengarkannya.Â
Menurutku pula, dilihat dari sisi manapun, aku tak melihat dimana letak hebatnya orang bisa berkali-kali nonton film di bioskop. Kecuali, aku mengerti, maksud Iwin membual demikian karena ia ingin mengolok-olok sebab aku tak pernah sekalipun masuk pintu bioskop; aku lebih menunggu film tersebut tayang di televisi, atau karena di kamar kos tak ada televisi, aku memilih mengunduhnya di internet.
Pada suatu hari, ketika ia berniat membeli televisi bekas dari salah seorang teman yang hendak pindah kerja dan pindah kos, aku melihat celah balas dendam atas perkataan Iwin yang berani-beraninya menyebutkan bahwa aku sekedar menunggu film yang aku suka segera tayang di televisi.
"Dewasa ini televisi diproduksi khusus untuk orang-orang miskin," sindirku. "Buktinya, di Plaza Indonesia ini, semua produk dan merek yang diperdagangkan sama sekali tak diiklankan di televisi. Barang-barang yang diiklankan di televisi adalah produk dan merek kelas bawah."
Sebenarnya aku berkata demikian bukan semata-mata aku ingin menyindir Iwin, sekaligus juga aku merasa dendam dengan televisi. Tiap kali aku menyalakan televisi dan menontonnya, karena terpancing dengan acara-acara yang menjemukan dan menyebalkan, yang ingin aku lakukan adalah melempar televisi tersebut sampai hancur. Seakan-akan menyadari bahwa penonton televisi adalah pengangguran, pemalas, orang kurang wawasan, orang banyak melamun, dan ibu-ibu hobi gosip, mereka tampak asal-asalan memproduksi acara; akting artis sinetron yang terlampau berlebihan dan program berita yang berpihak pada kepentingan kubu-kubu tertentu tak ubahnya penipu yang pandai menghipnotis.
Di negeri ini, asalkan bertampang rupawan, berwajah cengeng nan melankolis, mudah berurai air mata dan mampu melotot selama lima menit, sudah dianggap artis yang mampu berakting dengan baik. Sementara, para pemain berwajah pas-pasan dianggap topeng monyet yang memberikan kesan humor agar para penonton tak bosan mengikuti kisah sinetron yang menguras air mata dan rasa kasihan. Dan, tak mengerti apa maksudnya, hampir keseluruhan adegan selalu menyertakan dan mengumpulkan seluruh pemain dalam satu bingkai layar, kemudian sang sutradara menyorot wajah mereka satu per satu. Yang tak kalah mengganggu adalah suara musik latar yang menyerupai suara petir saat terjadi hujan angin.Â
Dan, yang menjijikan adalah ketika para artis sinetron menyebut diri mereka pekerja seni di berita-berita infotainment. Entah mereka bodoh atau tak mengerti, pekerjaan seniman adalah pekerjaan yang mengutamakan kesempurnaan dan keindahan, bukan uang. Seharusnya mereka tahu apa yang mereka lakukan sama saja dengan yang dikerjakan oleh para buruh pabrik. Karena itu, mematikan televisi adalah cara sederhana dan termudah menjadi orang cerdas.
Setidaknya Iwin juga pasti tahu para pengunjung mall bukanlah tipikal orang yang senang nonton sinetron. Buktinya, meski di Plaza Indonesia ini banyak berkeliaran artis televisi, mereka sama sekali tak memberikan dampak kehebohan sedikitpun. Tak seperti artis-artis tersebut memasuki pasar tradisional atau mall kelas bawah yang selalu disambut dengan teriakan, minta foto bareng, atau sekadar salaman, di Plaza Indonesia ini kepopuleran mereka seperti tak berarti apa-apa. Sikap acuh tak acuh para pengunjung mall terhadap para pesohor negeri ini membuatku curiga bahwa di rumah-rumah orang kalangan menengah ke atas televisi tampaknya tak ubah seperti barang rongsokan.
Akhirnya, tak tahu karena alasan apa atau mungkin Iwin terpengaruh omonganku, ia batal membeli televisi bekas tersebut. Tapi ia bilang padaku, "Televisi hanya menambah sumpek kamar kos dan merusak mata saja. Kalau untuk sekedar menginginkan hiburan, aku hanya perlu kuota internet atau mencari sinyal wi-fi gratis."
Saat ini, memasuki ruang sopir sebagai tempat biasa kami menghabiskan waktu istirahat, aku mencoba menangkap gambaran bioskop yang sering dibanggakan oleh Iwin itu. Ruangan ini berbentuk persegi panjang dan gelap karena lampu sengaja dimatikan. Sumber pencahayaan mengandalkan sepenuhnya dari cahaya lampu di luar yang menembus pintu kaca. Demi menyesuaikan dengan ketemaraman ruang ini seketika pupil mataku membesar.Â
Di salah satu sisi dinding terpasang AC tua yang menghembuskan udara dingin dan lembab ke seisi ruangan. Melihat wujud AC ini tampaknya barang tersebut telah mengalami beberapa kali bongkar pasang. Kemudian tepat di bawah AC tersebut diletakkan sebuah kaleng cat untuk menampung tetesan air yang keluar dari selang AC tersebut. Aku dapat mendengar suara jatuhnya tetesan air tersebut ke dalam kaleng cat tersebut.