Selepas kuliah di hari kamis, saya mendapat panggilan dari paman saya untuk datang ke rumahnya karena ada acara yasinan. Yasinan merupakan acara rutinan komunitas perantau dari Madura yang dilaksanakan setiap malam jumat. Sesampainya di rumah paman saya, banyak orang yang sudah datang dan berkumpul di sebuah tempat beralaskan karpet dan tikar yang dikelillingi potongan kayu dan beberapa furniture seprti pintu, jendela, lemari, dan lain-lain usaha milik paman saya. Setiap orang mengenakan pakaian yang agamis, seperti baju koko, sarung, dan peci. Ditengah perkumpulan tersebut, terdapat hidangan seperti kacang, buah-buahan, dan jajanan lainnya yang disuguhkan oleh paman saya.
Di tengah keramain yasinan, terdapat dua orang yang menarik perhatian saya. Pertama, Sahid, seorang pemuda berusia sekitar 23 tahun. Ia mengenakan baju koko putih dan sarung warna biru bermotif batik. Dengan sikap ramah, sahid berkeliling menyalami anggota komunitas, sambil berinteraksi dengan para anggota. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa Madura, penuh dengan ungkapan hangat dan humor, menciptakan suasana akrab diantara anggota.
Di sisi lain, ada Jufri, seorang bapak berusia 50 tahun. Ia mengenakan kemeja dongker panjang dipadukan dengan sarung kotak-kotak. Jufri aktif terlibat dalam percakapan, ia seringkali menayakan kabar para anggota dan mengajaknya bercanda. Dengan bahasa yang lembut dan penuh perhatian, Jufri menunjukkan kepedulian terhadap orang lain.
Melihat fenomena pada acara terebut, saya teringat dengan teori solidaritas sosial Emile Durkheim. Durkheim membagi solidaritas menjadi dua yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanik bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan diantara orang-orang itu ialah karena mereka semua terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mirip dan mempnyai tanggng jawab-tanggung jawab yang mirip. Sebaliknya, suatu Masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan diantara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda (George Ritzer,2019).
Dengan demikian, yasinan dapat dilihat sebagai contoh nyata dari solidaritas mekanik, di mana kesamaan nilai dan norma menjadi dasar pengikat yang kuat bagi anggota komunitas. Acara ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga menciptakan rasa identitas kolektif yang mendalam, sejalan dengan teori Durkheim mengenai solidaritas dalam masyarakat.
Interaksi antara Sahid dan Jufri dalam acara yasinan mencerminkan nilai-nilai sosial yang mendasari komunitas mereka. Sahid, sebagai pemuda, berperan sebagai penghubung generasi muda dengan anggota yang lebih tua. Ia berkeliling menyapa dan menyalami orang-orang, menunjukkan rasa hormat dan keterbukaan. Sementara itu, Jufri, yang lebih tua, menunjukkan kepedulian dan perhatian terhadap anggota lain, dengan menanyakan kabar dan mengajak bercanda. Interaksi mereka menunjukkan adanya saling pengertian dan rasa hormat yang kuat, yang merupakan fondasi dari solidaritas dalam komunitas.
Dua orang ini bertindak sesuai dengan makna dan simbol yang diharapkan dalam konteks yasinan. Yasinan bukan hanya sekadar acara ritual, tetapi juga merupakan sarana untuk memperkuat ikatan sosial antar anggota komunitas. Pakaian yang mereka kenakan, yang mencerminkan identitas agama dan budaya, juga menegaskan komitmen mereka terhadap nilai-nilai tradisional. Dalam konteks ini, Sahid dan Jufri berfungsi sebagai jembatan antara generasi, memperkuat solidaritas dan menjaga nilai-nilai yang telah ada. Dengan demikian, interaksi mereka tidak hanya sekadar bersifat sosial, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dalam menjaga keberlangsungan komunitas dan identitas budaya mereka.
George Ritzer, " Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern", (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 145.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H