Tulisan ini saya buat untuk menanggapi essai dari bapak Bernando J Sujibto selaku dosen di UIN Sunan Kalijaga dan dosen saya sendiri, yang mana essai tersebut berjudul "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan". Di essai tersebut membahas bahwasanya di wilayah ASEAN khususnya di Indonesia terjadi percampuran antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris atau sering disebut dengan Indonenglish, yang mana Bahasa tersebut marak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memunculkan perdebatan terkait penggunaan Bahasa tersebut.
Di essai tersebut, penulis menggunakan istilah CAPTIVE MIND yang diambil dari Sosiolog terkenal asal Indonesia dan berkarier di Malaysia yaitu Syed Hussein Alatas (1928-2007). Alatas mengartikan captive mind sebagai ketidak sadaran akan keterikatannya sendiri dan factor-factor pengondisiannya, yang semua itu karena factor kolonialisme. Penulis juga mengartikan captive mind sebagai produk dari problem inferioritas (perasaan kalah, lemah, dan rendah di depan orang lain/dominasi Barat).
Di Indonesia sendiri struktur captive mind sudah tertanam menjadi penyakit akut, sehingga menyebabkan lunturnya Bahasa Indonesia itu sendiri seperti yang terjadi di daerah Jaksel. Captive mind secara tidak langsung menuntun pada cara bertindak/berbicara, sehingga terasa kurang eksis bilamana berbicara Bahasa Indonesia tanpa ada unsur-unsur Inggrisnya. Ironisnya lagi, banyak orang tua mendukung praktik tersebut dengan alasan supaya anaknya lebih mudah dalam belajar Bahasa Inggris.
Menurut saya essai ini sangat bagus untuk dijadikan sebagai bahan bacaan, mengapa demikian? Karena essai ini tidak hanya mengkritik tentang praktik Indonenglish, beliau juga menawarkan Solusi supaya praktik tersebut bisa dikendalikan dengan baik. Penulis menawarkan Solusi dengan cara kemendikbud membuat skema yang terukur dan komprehensif dalam mengembangkan dan memajukan Bahasa Indonesia baik negeri maupun swasta, sehingga berpotensi mengembangkan secara spesifik hal ihwal Bahasa Indonesia sebagai perwujudan bagi pemajuan kebudayaan Indonesia.
Saya sebenarnya fivty-fivty mengenai problem praktik Indonenglish ini. Di satu sisi, penggunaan Indonenglish secara berlebihan dikhawatirkan dapat mengikis kekayaan Bahasa Indonesia dan mengancam kelestarian budaya bangsa. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Dengan demikian banyaknya penggunaan kosa kata asing, ke khasan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan dapat terkikis. Selain itu, penggunaan Indonenglish yang tidak tepat juga dapat menimbulkan miskomunikasi dan mempersulit pemahaman.
Namun, di sisi lain, penggunaan Indonenglish dapat digunakan sebagai bentuk adaptasi  terhadap perkembangan zaman dan globalisasi. Bahasa Inggris sebagai Bahasa internasional juga penting untuk menunjang mobilitas sosial dan ekonomi Masyarakat. Selain itu, penggunaan Indonenglish merupakan bentuk kreativitas dan ekspresi diri. Khususnya di generasi muda, yang mana mereka cenderung lebih nyaman berkomunikasi menggunakan Bahasa yang mereka anggap lebih modern dan kekinian.
Bagi saya, dilema Indonenglish ini menuntut kita untuk mencari keseimbangan antara modernitas dan pelestarian budaya. Di satu sisi, kita tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya penguasaan Bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Namun, di sisi lain, kita juga haruis tetap menjaga dan melestarikan kekayaan budaya dan Bahasa yang dimiliki Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H