Mohon tunggu...
Fajar W. Tirtoredjowirjo
Fajar W. Tirtoredjowirjo Mohon Tunggu... desainer freelance -

momong anak dan nyambi jadi desainer freelance (https://dribbble.com/fajaws)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia Cap-capan

25 Oktober 2017   15:53 Diperbarui: 25 Oktober 2017   16:01 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini terdapat 2 kelompok besar yang selalu berhadap-hadapan di media sosial; yang satu memberi cap kelompok satunya, demikian juga sebaliknya. Kedua kelompok yang saling nge-cap. Kelompok cap-capan.

Kadang kelakuan orang-orang ini lebih kekanak-kanakan daripada anakku. Bagaimana tidak? Anak-anakku -mungkin anak-anak yang lain juga- pasti akan bosan setelah bertengkar. Mereka akan segera tertawa ceria kembali. Bahkan tanpa campur tangan orang tuanya untuk sekedar melerai. Anak-anak itu akan boloan kembali setelah satru. Mereka tidak mengenal konsep dendam.

Sedangkan orang-orang, yang mungkin sudah sekolah puluhan tahun, bahkan tidak sedikit yang gelarnya nggak sembarangan masih saja mengumbar nafsu untuk saling menjatuhkan. Sudah tidak ada lagi yang mampu melerai. Entah karena di negara ini sudah tidak ada lagi "orang tua" yang menjadi pusaka. Atau memang sudah tidak ada lagi ruang selain untuk kebencian.

Minggu-minggu ini saya sedang seneng nonton film. Mulai Arrival, War for The Planet of The Apes, The Circle, Passengers, Baby Driver, The Dark Tower hingga Okja. Semuanya fiksi. Tapi entah mengapa saya melihat bahwa akhir dari semua film tersebut adalah rindunya makhluk kepada kedamaian. Bahkan Toretto (mungkin masih keturunan Madura) di film AKAS -alias Fast & Furious dan variannya- yang manol dan hobi kebut-kebutan itu selalu mengakhiri adegannya di meja makan dan berdoa bersama keluarganya. Happy ending. Mosok kita gak bisa belajar dari sana. Mosok gak bosen tukaran, padu terus-terusan. Gelut, tawur rebutan "mbuh opo".

Atau jangan-jangan kita ini memang gak bisa belajar untuk sekedar jadi manusia. Apa memang "binatang yang signifikan" ini tidak akan mampu menjadi bijaksana atau menjadi Sapiens seperti yang ditulis oleh Yuval Noah Hariri dalam bukunya. Atau mungkin juga peringatan Tuhan untuk tetap berbuat adil bahkan ketika kita sedang membenci seseorang sudah benar-benar kita lupakan, terkubur jauh di dalam kebencian itu sendiri...

Saya sendiri merasa tidak cocok dalam 2 kelompok besar di atas. Saya masuk kelompok kecil saja, tanpa cap. Yang tidak diakui keberadaannya juga gak apa-apa. Yang masih melihat dengan cara anak-anak melihat dunia. Tempat yang indah untuk hidup bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun