Melihat wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 tahun, yang pada akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan hangat, dari elite politik hingga masyarakat lapisan bawah dinegeri ini. Benar-benar kita telah dibuat dongkol, geli, kecewa, bahkan marah oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat) dari Partai Demokrat ini. Siapa lagi kalau bukan Si "Poltak" orang Batak ini, yang nama aslinya adalah Ruhut Sitompul.
(gambar ini kami dapat dari detikNews)
Anggota Dewan yang mempunyai latar belakang seorang pengacara dan mantan artis sinetron ini, adalah jelas seseorang yang pandai bicara, memutar kata, dan memainkan sebuah peran bagai adegan di sebuah sinetron.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode yang disampaikan oleh seorang Ruhut Sitompul ini jelas tidak mendasar dan tidak mempunyai nalar sebagai anggota dewan, karena kami yakin bahwa seorang Ruhut Sitompul, benar-benar telah mengabaikan pesan seorang mantan pendiri bangsa ini (Bung Karno) yaitu Jas Merah.
Si Poltak ini benar-benar telah melupakan sejarah bangsa ini. Ingat bahwa bangsa ini telah mempunyai 2 pimpinan yang pernah di kultuskan oleh rakyatnya, dan sama-sama dilengserkan secara tragis oleh rakyatnya.
Pertama adalah Bung Karno, bagaimana rakyat dulu sangat membanggakan Bung Karno, hingga mengangkat beliau (baca = Bung Karno) menjadi Presiden Indonesia seumur hidup, yang pada akhirnya tragis karena suatu pembrontakan yang kita kenal dengan Gerakan 30 September, dan tidak mampunya pemerintahan orde lama, dalam perbaikan perekonomian, akhirnya Bung Karno pun tumbang ditangan aksi mahasiswa yang kita kenal dengan angkatan 66.
Kedua adalah Soeaharto, pada tahun 1966 setelah tumbangnya orde lama dan lengsernya Bung Karno, rakyat menaruh harapan kepada seorang Jendral yang pada waktu dianggap sebagai penyelamat bangsa dari suatu pembrontakan yang dilakukan oleh Parta Komunis Indonesia (PKI) untuk mengganti dasar negara Pancasila menjadi Komunis.
Berkuasa selama 30 tahunan, membuat pemerintah Presiden Soeharto tak ubahnya seperti rezim, yang kita kenal dengan nama orde baru. Kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat sangat dibatasi, bahkan secara tegas mereka (baca= pemerintah) larang jika pendapat atau pembicaraan tersebut sangat bertentangan dengan program pemerintah.
Tak jarang, satu per satu lawan politik dari sang Jendral (baca=Soeharto) banyak yang disingkirkan baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Peristiwa demi peristiwa telah menjadi catatan hitam sejarah Indonesia.
Tenggok saja, peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta, yang pada awalnya demonstrasi para mahasiswa dalam menolak penanaman modal asing (PMA) didepan Perdana Menteri (PM) Jepang, Kakuei Tanaka yang akhirnya berubah anarkis, dengan perusakan gedung, pembakaran kendaraan , dan penjarahan toko-toko.
Peristiwa 12 September 1984 (Tanjung Priok) di Jakarta, yang menyebabkan korban tewas hingga 400 orang umat muslim (versi SONTAK = Solidaritas Nasional untuk pertistiwa Tanjung Priok).
Peristiwa  Lampung Tengah (Talangsari) tahun 1989, adalah suatu peritiwa di daerah Rajabasa Lama, Lampung Tengah.
Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) di Jakarta, adalah suatu peristiwa penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro Megawati, yang disebut-sebut bahwa Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Presiden Republik Indonesia, saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya.
Peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Papua, hingga meletusnya pertitiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dengan berakhirnya kekuasaan SANG Jendral Besar Soeharto, oleh demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di seluruh nusantara, adalah suatu peristiwa yang sama yang terjadi pada tahun 1966, pada saat lengsernya Bung Karno.
Menyimak dua peristiwa sejarah penting (Orde Lama dan Orde Baru) di Indonesia, yang pada akhirnya rakyat jugalah yang menjadi tameng terjadinya pertumpahan darah sesama anak negeri, menurut pandangan kami semakin lama seseorang (pejabat) berkuasa, semakin membentuk suatu rezim yang kurang bermanfaat bagi bangsanya.
Lihatlah negara Iraq yang hancur karena sang presiden Saddam Husein, Presiden Maros di Filipina dengan kasus korupsinya, Hitler dengan Nazinya (Jerman), menandakan bahwa segala sesuatunya baik jabatan, kekayaan, didunia itu ada batasnya.
Menilik wacana perpanjangan jabatan presiden hingga 3 periode terlontar dari seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Partai Demokrat), Ruhut "Poltak" Sitompul, jelas menurut kami sangat di etis dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang membatasi jabatan presiden hanya 2 periode (10 tahun), serta Pancasila yaitu bertentangan dengan Demokrasi.
Saat ini Presiden SBY sudah sekitar 6 tahun (2004 - 2010) berkuasa di negeri ini, segala kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini dalam pandangan kami malah sering merugikan rakyat.
Contoh :
Kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak menjadi 4500,- kemudian hingga menembus harga 6.000,- dengan dalih harga minyak dunia naik, dan akhirnya disaat-saat menjelang pemilihan umum pada tahun kemarin (2009) harga bahan bakar minyak (BBM) kembali turun menjadi 4500,- menurut pandangan kami adalah suatu kebijakan yang tidak tepat, mengapa?
Karena di negara Indonesia, kenaikkan harga bahan bakar minyak biasanya diikuti oleh kenaikkan harga-harga barang produksi lainnya, terutama bahan pokok (sembako). Dan ketika pemerintah menurunkan kembali ke harga semula 4.500,- harga bahan pokok-pun masih tetap bertahan.
Kebijakan lainnya adalah menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang tidak diiringi dengan pelayanan yang baik.
Akhir-akhir ini, dinegara kita sering terjadi pemadaman listrik yang tidak berdampak hanya pada kenyamanan kita sebagai seorang pelanggan saja, tetapi dampak kenaikkan TDL sangat memukul perekonomian kita terutama pada industri-industri, yang saat ini sangat kesulitan untuk menentukan harga jual suatu produksi, serta dampak dari pemadaman listrik membuat industri kita mengalami banyak kerugian, karena secara nyata berpengaruh sekali terhadap kurangnya hasil produksi.
Penyelesaian kasus bank Century, yang sampai saat ini masih terkatung-terkatung (tidak jelas) hasilnya.
Menurut pandangan kami, pansus Century hanya menghabiskan anggaran dan waktu saja.
Konversi minyak tanah ke LPG, yang makin hari makin menimbulkan banyak korban, karena ledakan tabung gasnya.
Kasus rekening gendut (Babi) milik sejumlah perwira tinggi Polri, hingga terjadinya perpecahan diantara pimpinan teras di tubuh Polri.
Kasus di Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK), yang menyeret ketua KPK Bibit-Chandra.
Ini semua terjadi, karena pimpinan (presiden) sudah tidak lagi mempunyai wibawa,ketegasan dalam bertindak, sehingga kepercayaan dimata rakyatnya sudah mulai turun.
Yang paling menyesakan dada rakyat adalah, disaat pemerintah belum mampu menunjukkan kinerja terbaikknya, tetapi belum bekerja mereka (Presiden) sudah menikmati hasil dari kenaikkan gajinya.
Sungguh ironis bangsa dengan jumlah penduduk yang kurang lebih mencapai 250 juta jiwa, tetapi dalam memilih pimpinan kita masih saja memandang nama besar mereka (pejabat) tersebut.
Lihatnya, presiden partai saja masih didominasi wajah-wajah lama, atau yang boleh kami katakan kebanyakan masih mantan penguasa orde baru.
Seperti Wiranto (Hanura), Prabowo (Gerindra), SBY (Demokrat) Abu Rizal (Golkar), Megawati (PDI), belum ada seorangpun dari tokoh muda yang mampu menggantikan posisi mereka.
Ingat Presiden Soekarno dan Soeharto, mereka memimpin Indonesia, saat mereka berusia 44 tahun.
Wacana perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 periode, dapat kami ambil kesimpulan bahwa negara ini sudah tidak dapat lagi meregenerasi pimpinan.
Jika perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 periode dapat benar-benar dilaksanakan, secara otomatis Undang-Undang Dasar kita akan diamandemen, dengan adanya amandemen sama dengan adanya rapat dewan, dengan mengeluarkan banyak anggaran, dan membuat kantong anggota dewan semakin tebal.
Terakhir kami hanya dapat berkata :
Sungguh Bego Ya (SBY), rakyat Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H