Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bank titil (dalam istilah Jawa/Surabaya) atau yang akrab disapa dengan renternir alias lintah darat dan yang agak keren disebut Abang Kredit, adalah bentuk layanan memberi hutang kepada masyarakat (pihak ketiga), dengan bunga yang tinggi.
Ibarat hukum pasar, ada penjual dan pembeli, bank titil yang selanjutnya kami sebut dengan tB sangat diminati oleh sebagian masyarakat, walau mereka (masyarakat) juga tidak simpati dengan keberadaan mereka (tB).
tB, biasa berpraktek dipasar-pasar dan perkampungan padat penduduk, yang pada umumnya masyarakat lapisan bawah. Sasaran konsumen mereka (tB) adalah masyarakat yang tengah kepepet uang (kebanyakan karena musibah) mendadak. Umumnya masyarakat meminjam uang ke (tB) karena, disamping birokrasinya (urusan) tidak berbelit, juga proses pencairan dananya tidak membutuhkan waktu yang lama. Cukup membubuhkan tanda tangan di surat pernyataan yang sudah dilengkapi dengan materai 6000,- uang langsung ada ditangan.
Contoh kasus 1 :
Ketika saya bekerja di perusahaan pembiayaan, saya mempunyai seorang nasabah yang kendaraannya akan disita oleh perusahaan kami. Nasabah tersebut mempunyai tunggakan 2 angsuran pembayaran, yang kurang lebih membutuhkan uang sebesar kurang 1 jutaan. Nasabah tersebut menunggak angsuran, dikarenakan mobil yang ditumpanginya tertabrak truk tangki, hingga kakinya patah dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Di (tB) uang pinjaman nasabah tersebut langsung dipotong 100.000,- untuk biaya administrasi dan mengangsur selama sepuluh minggu, dengan uang sebesar 110.000,- tiap minggunya. Jadi keuntungan dari (tB) adalah 200.000,- dari 100.000,- biaya administrasi dan 100.000,- dari 10.000 x (10) minggu.
Contoh kasus 2 :
Di depan rumah kami kebetulan ada seorang wanita tua berusia 70 tahunan, yang melakukan praktek gali lubang tutup lubang (hutang) untuk berdagang tiap hari (nasi), yang kurang lebih membutuhkan dana sekitar 200.000,- ,dan nenek tersebut hanya mendapatkan dana sebesar 180.000,- karena dipotong administrasi 10% sebesar 20.000,-, serta mengembalikan tiap harinya sebesar 5.000,- selama 45 hari atau 1,5 bulan.
Sungguh aneh, Indonesia yang sebagian penduduknya beragama Islam, tetapi pemerintahnya tidak mampu membrantas bahkan meminimalisir dari kegiatan bank titil (tB) tersebut.
Kami ibaratkan (tB) adalah seekor Singa di tengah Hutan(g) Ri(m)ba yang sedang memburu mangsanya (nasabah), dan tumbuh subur bagai jamur dimusim hujan.
Mengapa bank Syariah kurang populer di negara Indonesia
Pada hakekatnya, fungsi bank adalah untuk mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat (kredit).
Yang menjadi kendala saat ini, bank syariah (iB) belum terlalu memasyarakat atau populer dikalangan masyarakat kita. Dan terkesan birokrasi yang berbelit menjadi alasan utama dari sebagian masyarakat untuk mau berhubungan dengan bank, baik bank syariah (iB) maupun bank umum.
Masyarakat kita lebih memilih bank umum sebagai tempat bertransaksinya, dengan alasan mempunyai teknologi yang lebih canggih, jumlah kantor (unit) untuk bertransaksi lebih banyak, dan mempunyai kemudahan dalam hal melakukan transaksi seperti pembayaran rekening listrik, telepon dan transfer melalui automatic teller mesin (ATM), dari sisi inilah membuktikan bahwa bank syariah (iB) masih kalah bersaing dengan bank umum, baik dari segi pengumpulan dana maupun penyaluran kreditnya.
Masalah lainnya yang paling klasik adalah bahwa bank syariah dibentuk secara islam tetapi dibeberapa tempat masih sering kita jumpai, pegawai bank tersebutmasih ada (kebanyakan) non muslim, dan cara berpakaian yang tidak beda dengan bank konvesional. (pegawai wanita iB seharusnya memakai busana muslim).
Bank Syariah (iB) dibentuk dengan hukum islam tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya sehari-hari bank syariah (iB) masih tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai bank islam.
Dikhawatirkan masyarakat mempunyai persepsi, bahwa bank syariah dibentuk hanya sebatas pengumpulan dana (karena kita ketahui banyak bank umum yang saat ini sedang berlomba-lomba membuka cabang syariahnya), tetapi dana tersebut akan disalurkan untuk usaha (perusahaan) sendiri.
Solusi untuk mengatasi permasalahan ini
Sudah sewajarnya dan seharusnya jika bank syariah (iB) ini menjadi bank terdepan dalam pelaksanaan perbankan di Indonesia, mengingat sebagian besar masyarakat kita adalah muslim.
Dalam mengatasi permasalahan ini, seharusnya bank syariah (iB) memperbaiki diri baik dari sumber daya manusia (sdm), teknologi, dan memperbanyak fasilitas bertransaksi nasabahnya.
Tapi sudahlah, sebaiknya bagi kami, bank syariah (iB) fokus menangani masalah yang menimpa rakyat kecil, bukan mengecilkan arti peranan bank syariah (iB) di Indonesia, tetapi sangat disayangkan potensi yang saat ini diminati oleh sebagian masyarakat kita dalam berhubungan dengan bank titil (tB) diabaikan begitu saja oleh bank syariah (iB), sedangkan kita tahu bahwa sejarah islam mencatat, kelahiran agama islam sewaktu siar pertama oleh nabi besar kita Muhammad saw, sangatlah kecil pengikutnya, mulai dari keluarga, sahabat, baru kemasyarakat.
Sepatutnya bank syariah (iB) dalam menjalankan operasional perusahaannya, meniru siar nabi besar kita Muhammad saw, dalam penyebaran (membesarkan) agama islam, mulailah dari yang kecil dan bertumbuhlah menjadi besar.
Apa arti dari yang kecil dan bertumbuh menjadi besar?
Dalam pandangan kami, secara harfiah manusia terlahir sebagai anak kecil dan bertumbuh kembang menjadi dewasa, hingga mempunyai keturunan.
Seyogyanya, bank syariah (iB) lahir untuk menyelamatkan masyarakat dari jeratan bunga (riba) para renternir (tB), bertumbuh menjadi besar dengan memakai hukum islam, dan pada akhirnya mempunyai banyak cabang untuk dapat bersaing dengan bank umum.
Dalam penjelasan kami diatas, bahwa bank titil (tB), mempunyai peranan yang lebih besar ditengah-tengah masyarakat daripada bank syariah. Kita seharusnya dapat meniru konsep seorang Muhammad Yunus (Gramen Bank) dari Bangladesh, yang mampu mengembangkan kredit mikro (kecil) kepada masyarakat yang tidak mampu meminjam dari bank umum, lebih-lebih ke bank titil (tB).
Bagaimana cara yang tepat dalam pengumpulan dana nasabah bank syariah?
Jika kita bagi secara prosentase, dari 250 juta jiwa rakyat Indonesia,ilustrasi perhitungannya adalah sebagai berikut :
20 % dari 250 juta jiwa adalah balita (usia tidak produktif)
20% dari 250 juta jiwa adalah lanjut usia atau lansia (usia tidak produktif)
15% dari 250 juta jiwa adalah masyarakat non islam (kemungkinan tidak ikut program syariah)
10% dari 250 juta jiwa adalah masyarakat tidak bekerja atau penggangguran (butuh pemberdayaan)
20% dari 250 juta jiwa adalah pelajar atau mahasiswa beragama islam
10% dari 250 juta jiwa adalah golongan pegawai baik negeri maupun swasta.
5% dari 250 juta jiwa adalah golongan masyarakat lapisan atas (penguasa dan pengusaha islam)
Jadi ada sekitar 35% dari 250 juta jiwa yang dapat kita asumsikan mengikuti program syariah, terdiri dari :
20% dari golongan pelajar dan mahasiswa beragama islam
10% dari golongan pegawai negeri maupun swasta
5% dari golongan penguasa (pejabat) dan pengusaha beragama islam.
Menurut perhitungan kami, 20% dari 250 juta jiwa adalah50 juta jiwa para pelajar dan mahasiswa, maka :
·Seandainya para pelajar diwajibkan untuk menabung sebesar 1.000,- yang pengumpulannya dapat dilakukan di sekolah masing-masing, maka akan terkumpul dana sebesar :
50.000.000 x 1.000 = 50.000.000.000 (50M)
·Seandainya 10% dari 250 juta jiwa adalah 25 juta jiwa pegawai negeri maupun swasta dan diwajibkan untuk menabung sebesar 2.000, maka akan terkumpul dana sebesar :
25.000.000 x 2.000 = 50.000.000.000 (50 M)
·Seandainya 5% dari 250 juta jiwa adalah 12.500.000 jiwa para peguasa (pejabat) dan (pengusaha) islam dinegeri ini, dan diwajibkan untuk menabung sebesar 8.000, maka akan terkumpul dana sebesar :
12.500.000 x 8.000 = 100.000.000.000 (100 M)
Berarti seandainya masyarakat islam kita bersatu maka akan terkumpul dana sebesar 200 M tiap bulannya dari kekuatan seribu rupiah.
200 M sangat cukup untuk memberdayakan 200 ribu jiwa rakyat Indonesia, maka seandainya 10% dari 250 juta jiwa adalah 25 juta jiwa rakyat kita yang tengah menderita akibat kehilangan nafkah dan akibat jeratan dari bank titil (tB), maka dalam waktu kurang lebih 1 tahun, rakyat kita akan terbebas dari kemiskinan global dan rakyat dapat merasakan kebersamaan dalam membangun negara Indonesia ini.
So, nunggu apalagi bank syariah?
Mumpung kita masih bisa bernafas dengan bebas, dan “sang fajar masih” terbit dari timur, mengapa kita tidak menabung sekaligus membantu saudara-saudara kita yang tengah dilanda musibah.
Kami berharap umat islam dapat bersatu-padu bagaikan banyak jama’ah sholat Jum’at, yang dilakukan pada waktu sholat Subuh (melakukan sholat subuh berjema’ah), karena kami tahu, sesungguhnya kami mengakui sangat sulit umat islam melakukan sholat subuh berjama’ah seperti ketika umat islam melakukan sholat Jum’at berjama’ah.
Kami sebagai penulis tidak luput dari salah, mohon maaf apabila ada kata-kata kami yang kurang berkenan dihati pembaca.
Wassalam
Fajar Yudo
Tulisan ini juga kami tautkan di : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000474215332
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H