Mohon tunggu...
Fajar T
Fajar T Mohon Tunggu... Administrasi - WNI

Learn to Learn..........

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak Itu Ada

29 Februari 2012   18:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 3297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174291" align="aligncenter" width="423" caption="Manfaat Pajak"][/caption]

Beberapa waktu tidak berkunjung di Kompasiana,ternyata tema yang sedang “in” di Kompasiana adalah Gayus II. Sebelum membahas lebih jauh, pertanyaan mendasar terlebih dahulu adalah dasar dan pertimbangan apakah yang membuat Admin Kompasiana akhirnya memutuskan pemberian judul Gayus II? saya merasapemberian judul tersebut kurang tepat. Mengapa?

Saya menangkap adanya unsur subyektifitas yang dikhawatirkan akan mengarah ke sebuah pembentukan opini bahwa “seolah-olah” memang Sudah ada Gayus II di Direktorat Jenderal Pajak. Hal tersebut bertentangan dengan asas presumption of innocence atau dengan kata lain berprasangka baik yang lazim di anut di Indonesia. Pemberian judul Gayus II ini saya pikir adalah sebuah judul yang terburu-buru dan kurang bijak, mengingat kasus ini masih dalam tahap pemeriksaan dan belum memperoleh vonis inkracht Van Gewisjde dari pejabat yang berwenang.

Dari uraian tersebut, sebagai salah satu warga kompasiana, boleh dong jika saya mengusulkan agar Admin Kompasiana memilih judul yang lebih obyektif dan berimbang agar tidak mengarah pembentukan opini publik yang belum tentu diyakini kebenarannya. Terima kasih sebelumnya.

Berbicara mengenai permasalahan yang saat ini sedang “in” tersebut, saya pribadi ikut merasakan bahwa dengan mencuatnya dugaan tindak pidana korupsi yang ditujukan kepada DW mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak nyaris membangkitkan kembali rasa yang hampir serupa dengan kasus yang melibatkan Gayus H.P. Tambunan beberapa waktu lalu. Salah satu efek yang dirasakan adalah adalah terjadinya generalisasi dan labelisasi negatif terhadap hampir seluruh pegawai pajak. Beraneka macam komentar maupun tulisan yang bernada miring terpampang secara jelas dan gamblang mengiringi artikel-artikel di beberapa media yang kebetulan mengupas tentang perkembangan kasus ini, Salahkah itu semua? Tidak memang, mengingat masing-masing pribadi memiliki sudut pandang dan kaca mata yang berbeda dalam mencerna setiap informasi yang disajikan setiap harinya.

Saya memang hanya mengikuti perkembangan kasus ini melalui informasi dari media, dan disadari atau tidak, informasi-infomasi yang beredar di berbagai media yang ada, tidak sepenuhnya benar. Beberapa waktu lalu saya pernah membaca sebuah berita yang berjudul kurang lebih seperti ini, “The Next Gayus... dikabarkan DW seorang Pegawai Direktorat Jenderal Pajak melakukan korupsi pajak dengan modus anu, anu dan itu. Judul tersebut menurut rasa aneh dan rancu, mengingat berdasarkan informasi yang beredar, kasus tersebut sampai sekarang masih sebatas “dugaan” dan belum terbukti meskipun DW sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun judul dari informasi-informasi tersebut, menurut saya adalah judul yang terlalu “terburu-buru menghakimi”. Hal ini sangat berperan besar dalam memberikan vonis bersalah dalam benak pembaca. Dengan hanya membaca judul yang terpampang dengan megah tersebut, pembaca sudah diarahkan untuk membuat kesimpulan bahwa “telah terjadi korupsi” sebelum membaca duduk perkaranya secara detil dan menyeluruh. Meski saya bukanlah pakar/ahli dalam bidang penulisan ataupun pakar informasi, mari menyaring dan menyampaikan informasi secara lebih cerdas dengan mengedepankan obyektifitas penyampaian isi dan bukan dengan mengedepankan subyektifitas dan prasangka buruk.

Misalnya terbukti bersalah, apakah berarti reformasi birokrasi gagal?

Mari berandai-andai sebentar, jika nanti ternyata nanti DW terbukti bersalah, apakah berarti reformasi birokrasi gagal total?. Menurut saya, TIDAK. Tolok ukur untuk menyimpulkan bahwa sebuah gerakan reformasi dalam sebuah institusi itu dikatakan gagal tidaklah didasarkan pada meningkatnya temuan terjadinya tindak pidana korupsi di dalam sebuah institusi, mengingat sejatinya reformasi birokrasi bukanlah sebuah perjalanan singkat satu jam, atau satu hari, melainkan sebuah perjalanan panjang yang bersifat panjang dan  kontinyu untuk mewujudkan good governance di sektor pelayanan publik.

Meningkatnya temuan tindak pidana korupsi dalam sebuah institusi yang berhasil dibuktikan oleh aparat penegak hukum, tidak serta merta menandakan bahwa reformasi yang dilakukan di tubuh sebuah institusi adalah gagal. Kesimpulan untuk menyebut Gagal tentunya membutuhkan proses pengkajian yang lebih mendalam dan terukur. Salah satu langkah pengkajian tersebut diantaranya adalah melakukan komparasi/membandingkan terungkapnya korupsi di institusi tersebut dari tahun ke tahun dan melakukan pemisahan/pemilahan tempus delicti (waktu kejadian).

Ilustrasi: katakanlah sebelum dilakukan reformasi birokrasi, sebuah institusi terlihat bersih dan tidak ada korupsi yang terungkap, namun ternyata setelah dilakukan reformasi birokrasi, ternyata terjadi peningkatan pengungkapan tindak pidana korupsi. Reformasi gagal?. Sebentar kawan, jangan terburu-buru menyimpulkan. Mari kita kaji kembali secara lebih detil, dengan melakukan pemilahan tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Apakah korupsi tersebut dilakukan sebelum dicanangkan program reformasi birokrasi atau sesudah dilakukan program reformasi birokrasi. Cukup dengan hal itu saja? Saya rasa tidak, selain itu masih banyak unsur-unsur lain yang kiranya lebih kompleks yang harus dikaji kembali, mengingat reformasi birokrasi sejatinya tak melulu hanya berkutat pada masalah pemberantasan tindak korupsi saja, melainkan lebih kepada pewujudan good governance secara menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah. Demikian kiranya hal-hal yang harus diingat kembali sebelum memberikan label Gagal terhadap program reformasi birokrasi yang sedang dicanangkan di Indonesia.

13305411641131635981
13305411641131635981

Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak Itu Ada

Ungkapan di atas bukanlah pembelaan membabi buta terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak. Setidaknya inilah yang saya rasakan sebagai salah satu pegawai Ditjen Pajak. Pemberian remunerasi memberi banyak konsekuensi terhadap para pegawai. Dari pengalaman saya beberapa tahun yang lalu pada saat melamar PNS melalui jalur umum, di Institusi Kementerian Keuangan inilah saya benar-benar membuktikan sendiri bahwa proses perekrutannya bersih dari nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Setidaknya itulah yang saya alami pada saat berjuang keras dan bersaing dengan puluhan ribu pelamar di seluruh Indonesia untuk dapat masuk dan di terima di Kementerian Keuangan. Alhamdulillah, saya berhasil melalui berbagai tahapan seleksi yang diadakan waktu itu dan di tempatkan di institusi penyumbang sekitar 80% APBN ini. Selama proses ujian dari awal hingga pengumuman diterima, tak ada uang “pelicin”, uang pesan tempat ataupun pungutan-pungutan tak resmi lainnya. Hampir tak percaya memang, namun setidaknya itulah yang saya alami beberapa tahun lalu. kawan-kawan bisa membuktikan sendiri apakah hal yang yang saya sampaikan ini benar atau salah, dengan mengajukan lamaran dan mengikuti proses ujiannya nanti ketika ada pengumuman penerimaan CPNS Kementerian Keuangan. Hal ini perlu saya sampaikan untuk menanggapi banyaknya pertanyaan, komentar atau anggapan yang mengatakan bahwa untuk masuk sebagai PNS di Kementerian Keuangan terlebih Direktorat Jenderal Pajak pasti membutuhkan banyak uang karena dipandang sebagai lahan basah. Semoga dengan tulisan ini, sedikit banyak mampu meluruskan desas-desus yang berkembang sekaligus memberikan sudut pandang baru bagi kawan-kawan dan juga membangkitkan semangat bagi kawan-kawan yang ingin bergabung dengan Kementerian Keuangan.

Contoh kecil lain yang menggambarkan bahwa reformasi birokrasi memang ada dan berjalan baik di Direktorat Jenderal Pajak adalah adalah dihapuskannya sistem absensi manual yang telah berganti dengan mesin finger print, sehingga acara titip absen ataupun modus kecurangan lainnya terhapus. Jam kerja yang berlaku sudah diseragamkan secara menyeluruh yaitu mulai pukul 07.30 s.d. 17.00. Maksimal absensi kedatangan adalah jam 07.30 pagi, khusus untuk daerah DKI Jakarta di beri kelonggaran sampai dengan pukul 08.00 WIB dengan konsekuensi jam pulang paling cepat 17.30. Untuk pulang absensi paling cepat dimulai tepat pukul 17.00. Telat 1 detik atau pulang lebih cepat? Hmmmmh... siap-siap saja tunjangan dipotong bulan depan, dan jika sering terlambat atau pulang cepat, selain tunjangan dipotong, sanksi  juga sudah menunggu.

Tidak hanya itu, perbaikan-perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan bagi Wajib Pajak senantiasa ditingkatkan, mulai dari pembentukan Tempat Layanan Terpadu, Pemberian layanan konsultasi pajak, pembebasan seluruh biaya (Gratis) untuk pelayanan perpajakan maupun peningkatan infrastruktur guna menunjang pelaksanaan self assestment system yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia senantiasa ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kualitas pelayanan bagi Wajib Pajak sampai dengan penyederhanaan mekanisme pembayaran maupun pelaporan SPT yang sampai saat ini sudah diintegrasikan dengan perkembangan teknologi masa kini. Direktorat Jenderal Pajak juga sudah menerapkan WBS (Whistle Blower System) sebagai wujud pengawasan bagi para pegawainya. Apakah hanya itu? Masih banyak lagi hal-hal yang belum dapat saya uraikan di sini untuk memberikan gambaran global bagaimana perjalanan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak.

Sebagai penutup, semuanya kembali lagi kepada masyarakat. Memang reformasi birokrasi bukanlah sebuah jaminan bagi sebuah institusi untuk 100% bersih, namun setidaknya reformasi birokrasi itu ada dan terus berjalan di Direktorat Jenderal Pajak. Perlu juga untuk disampaikan, bahwa sampai dengan saat ini, hampir 80% sumber APBN mengandalkan dari penerimaan pajak. Bagaimana mungkin bangsa ini menjadi lebih baik, Bagaimana mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri? bagaimana bisa bangsa ini menjadi bangsa yang disegani?. Kalau bukan dari kita sendiri, lalu dari siapa lagi?.

Semoga Bermanfaat.

Sumber gambar : di sini, di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun