Pemerintah gagal dalam mensejahterakan buruh dan membangun sistim pendidikan rakyat. Pada peringatan Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional, Aliansi Buruh dan Pelajar Melawan Penindasan (ABPMP), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Aliansi Pembebasan Rayat Blitar (APRB) turun kejalan.
Blitar Raya News.com, BLITAR – Persoalan buruh dan pendidikan di Indonesia masih menjadi perhatian semua kalangan termasuk mendapat perhatian dari ABPMP, LMND, APRB dan masyarakat lainnya. Hal ini terjadi karena sampai saat ini masih banyak permasalahan dalam bidang perburuhan dan pendidikan yang belum dapat diselesaikan oleh pemerintah.
Setiap tahun masalah perburuhan dan pendidikan di Indonesia bukannya semakin berkurang, namun sebaliknya semakin bertambah dan jarang yang terselesaikan. Permasalahan perburuhan di Indonesia memang lebih luas dan komplek. Seperti buruh perusahaan, buruh migrant, pelayan toko sampai pembantu rumah tangga. Kehidupan para buruh di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan, karena masih jauh dari kesejahteraan. Malahan kaum buruh sering dilanggar hak-haknya oleh para pemilik modal dan pengusaha. Bahkan tidak sedikit pula yang menjadi obyek kekerasa, nafsu birahi, sampai ada pula yang dijadikan obyek perdagangan manusia (trafiking). Demikian yang disampaikan coordinator aksi, Pringgo Priyanggono.
Menurut Pringgo, di Blitar sendiri masih banyak buruh yang tertindas, mereka dibodohi oleh para pemilik perusahaan. Buruh di Blitar belum mendapatkan hak-haknya yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Upah mereka tidak sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang telah disahkan oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Pada tahun 2011 UMK Kota Blitar sebesar Rp. 737.000 sedangkan Kabupaten Blitar sebesar Rp. 750.000. Sementara itu upah buruh di Blitar masih banyak yang dibawah UMK. Dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) selalu dilakukan sepihak juga sering terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
Sedangkan dari permasalahan Buruh Migran dari Blitar yang sering muncul adalah penipuan oleh para PJTKI dan manipulasi data. Para buruh migrant juga sering dijadikan obyek trafiking, bahkan tidak sedikit yang mendapatkan kekerasan dari para juragan dan mereka juga tidak pernah mendapatkan perlindungan sama sekali dari Pemerintah.
Pringgo menambahkan dalam menyikapi permasalahan seperti itu pemerintah hanya diam dan tidak ada reaksi sama sekali. Selama ini pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja hanya menunggu adanya pengaduan saja dan tidak pernah mengadakan penyuluhan ataupun control kepada para buruh maupun para pengusaha.
Sebenarnya di Blitar sendiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan bahkan banyak yang tidak terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja. Namun anehnya tidak ada tindakan tegas dan penertiban dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar serta memberikan sangsi. Dalam menyelesaikan masalah perburuhan, pemerintah Blitar sering berpihak kepada pengusaha.
“Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah untuk melindungi kaum buruh, saya rasa belum ada. Hal ini terbukti masih banyaknya kaum buruh yang mendapatkan upah di bawah UMK bahkan mendapatkan kekerasan dari sang majikan,” jelas Pringgo.
Dalam aksi unjuk rasa ini , Aliansi Buruh dan Pelajar Melawan Penindasan (ABPMP) menuntut kepada pemerintah agar menegakkan UU No. 13 tahun 2003, DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Hapuskan sitim AUTSORCING, bayar upah buruh sesuai UMK, beri jaminan keselamatan dan Perlindungan Buruh Migran, hapuskan diskriminasi Pembantu Rumah Tangga (PRT).
Sementara itu koordinator LMND dan APRB, Muhtar Eliyanto mengatakan permasalahan perburuhan ini seharusnya menjadi perhatian serius baik dari DPRD maupun Pemkot/Pemkab Blitar, serta menertibkan jam kerja sesuai yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah yaitu 8 jam per hari. Selain itu pihak Eksekutif dan Legislatif sebagai pembuat regulasi atas UMK harus tegas terhadap pengusaha yang nakal dan melanggar aturan yang ada.
“Seharusnya Eksekutif maupun Legislatif bertindak tegas terhadap perusahaan yang masih membayar karyawannya di bawah UMK , juga yang telah melanggar peraturan yang berlaku dan memberi sangsi,” ungkap Muhtar.
Terkait permasalahan Pendidikan, Pringgo menyampaikan sering terjadi kesenjangan social. Masih banyaknya Sekolah yang menarik biaya mahal sehingga rakyat miskin tidak dapat sekolah, karena tidak memilik biaya. Masih banyaknya sekolah-sekolah yang tidak layakuntuk proses belajar dan mengajar. Padahal tiap tahunnya Pemerintah Pusat selalu mengucurkan dana-dana seperti DAK, dana Hibah, BOS dan lain-lain. Namun masih banyak anak-anak kita yang tidak bisa sekolah karena biaya. Hal ini membuktikan Pemerintah Daerah tidak bisa mengelola Anggaran Pendidikan dan gagal membangun sistim pendidikan rakyat. Dana-dana tersebut kebanyakan di salah gunakan dan dikorupsi oleh oknum-oknum di lingkungan Dinas Pendidikan Daerah.
“Permasalahan Pendidikan sampai saat ini tidak bisa terselesaikan, karena banyak dana dari Pemerintah Pusat yang dikorup oleh oknum-oknum untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan dan mempedulikan masalah pendidikan rakyat,” jelas Pringgo.
Terkait pendidikan Pringgo menuntut agar menghentikan Sistim Pengkomersilan Pendidikan, wujudkan Pendidikan Gratis pada Rakyat seperti yang dijanjikan Walikota Blitar, Saman Hudi Anwar , wujudkan Pendidikan yang ilmiah dan demokratis dan hapuskan kekerasan dalam sistim pendidikan.
Sedangkan menurut Muhtar Eliyanto, coordinator LMND dan APRB mengatakan, dunia pendidikan di Blitar terjadi diskriminasi. Kebijakan Pemkot Blitar yang membatasi jumlah peserta didik dari kabupaten Blitar atau daerah luar kota Blitar sangatlah tidak berpihak kepada rakyat kecil. Termasuk juga bagaimana Pemkot Blitar seolah menganak tirikan peserta didik dari kabupaten dengan pembagian seragam batik yang hanya digratiskan untuk anak didik dari kota/warga kota. Pada tahun ini 2011 Pemkot Blitar telah mengeluarkan kebijakan baru dengan membatasi jumlah peserta didik dari Kabupaten yang hanya sebesar 20%. Itupun dengan catatan mereka harus mampu membiayai sendiri kebutuhan pendidikan di Kota.
“Ini diskriminasi, masa anak didik dari kabupaten harus dibatasi dan dalam pembagian kain batik yang dari kabupaten harus bayar, sedangkan dari kota gratis,” ungkap Muhtar
Sementara itu anggota komisi I DPRD Kota Blitar, Nuhan Wahyudi mengatakan, akan melakukan evaluasi dan akan mempelajari kasus per kasus serta akan menindak lanjuti permasalahan terkait Tenaga Kerja dan Pendidikan khususnya di Kota Blitar. Pihaknya berharap adanya kerja sama antara Legislatif dan seluruh elemen masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Memang kami akui permasalahan Tenaga Kerja dan Pendidikan sangatlah komplek, untuk itu kami berharap adanya kerja sama yang baik antara Legislatif, Eksekutif dan seluruh elemen masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini,” jelas Nuhan. (JFT)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI