Industri musik selama beberapa tahun terakhir dihadapkan pada munculnya banyak penyanyi pendatang baru dengan adanya berbagai macam platform digital. Namun ini membawa polemik tersendiri di industri tersebut yang kebanyakan penyanyi tersebut membawakan lagu ciptaan orang lain (song cover) tanpa adanya izin dari penulis lagu. Banyak penulis lagu yang tidak memperoleh haknya akibat kegiatan meng-cover lagu ini. Lagu sebagai karya seorang musisi termasuk Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dilindungi dengan  hak cipta, sesuai undang-Undang RI No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hasil karya seharusnya dapat memberikan nilai ekonomis bagi pemegang hak yang diaktualisasikan sebagai nilai royalti.
Secara khusus nilai ekonomi yang dihasilkan dari hak cipta pada industri musik adalah royalti, kisruh masalah royalti di Indonesia sudah berlangsung cukup lama bahkan dari sebelum booming era digital platform seperti saat ini. Cerita praktik meng-cover lagu di panggung-panggung hiburan yang paling santer terdengar adalah dari almarhum Didi Kempot selaku pencipta lagu dan musisi, yang menyayangkan ketika lagu-lagunya dinyanyikan ulang oleh sejumlah musisi dan seniman keroncong tanpa izin darinya. Sedangkan kasus cover lagu di digital platform mulai menjadi perhatian pada tahun 2017, saat lagu "Akad" milik band indie Payung Teduh yang kemudian di cover oleh Hanin Dhiya pada platform YouTube malah memiliki views 3 kali lipat lebih banyak dibanding versi aslinya. Hal ini tentunya berkaitan dengan nilai ekonomi yang didapatkan oleh para peng-cover lagu yang kemudian mendapatkan keuntungan dari pendapatan penampilan mereka baik dari performing fee di panggung-panggung maupun hasil dari monetisasi iklan pada berbagai platform digital.
Di hadapan dunia digital royalti menjadi persoalan kompleks, dengan mekanisme pengawasan yang masih minim saat ini ditambah dengan berbagai macam platform digital yang muncul menambah kompleks sistem kontrol yang harus dilakukan untuk memantau penggunaan sebuah karya musik. Penyanyi cover cukup diuntungkan dengan kondisi tersebut, mereka bisa melakukan sebanyak mungkin cover lagu dengan kemudian mengunggah diberbagai platform digital yang ada. Sedangkan pencipta lagu maupun musisi asli punya keterbatasan dalam memproduksi karya secara terus menerus karena terdapat limitasi dalam penciptaan ide.
Jalan Tengah
Mengingat cukup tingginya pendengar musik melalui berbagai platform digital diperlukan jalan tengah untuk mengatasi problematika hak cipta dan royalti suatu karya musik adalah melalui perantara mediator yang disebut agregator. Agregator menjembatani pemilik hak cipta (musisi) dan industri atau perorangan yang menggunakan karya musik tersebut. tugas agregator secara spesifik adalah melakukan pengelolaan terhadap hak cipta suatu karya musik berupa dukungan hak cipta maupun klaim terhadap hak cipta suatu karya musik, serta menghitung nilai pendapatan berupa royalti yang berhak diterima oleh penciptanya.
Kini, sangat penting untuk menunjukkan rasa hormat kepada pencipta karya musik (pemilik hak cipta), di mana musisi cover harus terbuka terhadap berapa banyak uang yang mereka hasilkan dari musik yang mereka bawakan. Masalah royalti tidak boleh dirahasiakan atau didiskusikan secara samar-samar, tetapi langkah konkret harus diambil. salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memberikan hak royalti atas karya pemilik hak cipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H