Secara sederhana pengangguran dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana penduduk di dalam suatu negara yang telah menjadi usia angkatan kerja dan mempunyai keinginan untuk bekerja tetapi belum menemukan pekerjaan.Apa yang coba penulis tuliskan bukan berdasarkan anaisis kuantitatif yang rill, melainkan hasil dari renungan panjang yang bisa saja banyak orang mengira sebaga Common  Sense. Melihat realitas banyaknya pengangguran adalah suatu hal yang wajar. Tetapi, yang tidak wajar adalah ketika yang menjadi pengangguran adalah dari kalangan sarjana. Seyogyanya, orang-orang yang telah mendapatkan gelar sarjana adalah mereka yang telah melaksanakan pendidikan di perguruan tinggi. Baik swasta maupun negeri.
 Melihat banyaknya pengangguran dari kalangan sarjana menjadi perbincangan hangat dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan sivitas akademik.  Tentu kita ketahui bersama, bahwa isnstitusi terkecil dalam suatu masyarakat adalah keluarga. Melalui proses interkasi dengan anggota keluarga bahkan dari lingkungan eksternal seperti sekolah dan lingkungan masyarakat umum merupakan suatu keadaan yang rill yang menurut paradigma fakta sosial dapat memberikan pengaruh terhadap banyaknya pengangguran. Mula-mula, dari lingkungan keluarga, kita telah di dorong untuk kuliah untuk dapat kerjaan setelah lulus S1. Tanpa melihat jenis pendidikan apa yang anaknya ikuti. Belum lagi efek domino yang muncul dari kalangan masyarakat sebagai abstraksi dari pergolkan wacana yang ada di dalam lingkungan keluarga. Seringkali orang yang kuliah S1 di generalkan sebagai orang-orang yang telah sarjana semua bekerja menjadi buruh dalam suatu perusahaan tertentu atau yan g paling massive adalah profesi menjadi PNS.
Hal itu sama sekali tidak relevan jika kita memperhatikan klasifikasi pendidikan yang ada di Indonesia. Yakni ada pendidikan akademik, profesi, dan vokasi. Orang-orang yang telah memilih pendidikan akademik seringkali digeneralkan seperti orang-orang yang mengikuti pendidikan profesi dan vokasi seperti profesi sebagai dokter dan alumni teknik misalnya yang siap di pekerjakan di perusahaan. Berbeda dengan pendidikan akademik yang mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi. Seharusnya orang-orang yang mmilih jalur pendidikan akademik seperti misalnya memilih jurusan sosiologi seharusnya mereka tidak di dorong untuk berpikir menjadi buruh murahan setelah ia menyelesaikan S1-nya, melainkan tanggung jawab orang-orang yang memilih jalur pendidikan akademik harusnya melakukan pengembangan ilmu, serta dipersiapkan menjadi pemikir/konseptor dan pemimpin serta berjuang mengubah realitas sosial yang timpang. Malah hal ini yang tidak nampak di negara kita hari ini. bahkan sistem kita menghendaki orang-orang yang memilih jalur pendidikan akademik kurang lebih sebagai tingkatan paling bawah dan lahan basa pengangguran. Kenapa ? karena ada disorientasi yang telah melembaga. Passing grade misalnya kedokteran lebih tinggi, jurusan teknik, bahkan akuntansi ketimbang sosiologi. Yang nyatanya orang-orang yang mengisi jurusan sosiologi seharusnya dipersiapkan menjadi ilmuan yang ampu berkontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan dan bangasa. Karena memiliki tanggung jawab pengembangan ilmu dan fungsi-fungsi pemikir/konseptor dan berpeluang menjadi pemimpin di berbagai tempat serta memperbaiki berbagai macam permasalahan sosal.
 Hal diatas merupakan fenomena Fallacy (kesalahan berpikir) yang hadir di negara kita. Baik dari segi mentalitas yang terbangun di masyarakat maupun mekanisme yang di hadirkan oleh negara di perguruan tinggi. Realitas tersebut merupakan sesuatu yang seharusnya menjadi permaslahan bersama yang harus di tuntaskan di negeri ini untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Mesti ada citra yang dihadirkan pendidikan akademik yang lebih tinggi dibanding pendidikan profesi dan vokasi. Bukan sebaliknya. Agar pendidiakan akademik menghadilkan orang-orang yang mau mengupgrade keilmuannya kearah yang lebih tinggi dan menjadi pemikir sekalgus pemimpin yang dapat membawa banyak perubahan sosial. Bukan buruh murahan dan pengangguran yang gagal dalam mentalitas karena konsekuensi sistemik. Hal yang penulis harapkan baik untuk diri sendiri maupun orang lain yang telah memilih jalur pendidikan akademik supaya kembali meluruskan niat belajar dan memperbaiki mentalitas. Kita adalah harapan masa depan yang cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H