Oleh : Fajar
Pepohonan yang rindang menjadi tempat hujan bermain melodi
Menetes perlahan mengikuti alunan suara semesta.
Jernih seperti wajahmu
Menari mengiringi langkahmu.
Rak-rak buku di perpustakaan menjadi beku saat engkau lewat dengan senyummu menatapku dari jendela modernitas.
Sunyi tanpa buku puisi darimu.
Meski klasik puisi menjadi takdirnya.
Semalam rindu yang pekat takjua padam meski telah menatapmu di belasan malam..
Aku hanya mamapu melempar senyum, menghilang seketika menempel di dadamu
Lalu engkau balas dengan kata lembut di saat hati berdebu kelabu.
Mampuslah aku.. lagi dan lagi hanya mampu menatapmu dari jendela modernitas..
Melihatmu terbaring lalu tertidur..
Pelukku tak mampu menembus ruang dan waktu dari jendela itu.
Hanya mampu menahan.
Entah kenapa dia tahu disaat hujan turun.
Ia datang menghantuiku sebut saja ia rindu.
Berjuta, bahkan triliunan tetesan hujan rindu tak terhingga menjelma menjadi air yang aku timbah membasahi tubuhku dengan cintamu
Sayang, semoga surat yang kau kerjakan itu menyampaikan salamku.
Yang suatu saat kelak tertulis namamu dan namaku lalu mengiringi tetasan hujan yang tak terhingga menyebar berita kehidupan cinta kasih..
menembus batas jendela modernitas,
menjadi pelukan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H