Ketika aku sampai di restoran, Lina sudah menungguku dengan wajah yang sulit diartikan. "Maaf, sayang. Tadi aku---"
"Enggak perlu alasan lagi, Ardi," potongnya cepat. "Aku udah denger ribuan kali. Aku enggak minta kamu jadi sempurna, tapi bisa enggak sekali aja kamu tepati janji?"
Aku terdiam. Lidahku kelu. Di titik itu, aku tahu, bukan hanya soal waktu atau keterlambatan lagi. Ini lebih dalam. Ini soal rasa tanggung jawab dan komitmen. Aku berkali-kali janji, tapi tak pernah benar-benar berubah.
"Kita butuh waktu, Ardi. Aku butuh kamu buat mikirin apa kamu benar-benar mau berubah, atau kita cuma jalan di tempat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Setelah itu, dia pergi meninggalkanku duduk sendiri, terpaku.
Malam itu, aku sadar kalau semua kesalahanku akhirnya menumpuk jadi satu masalah besar. Namun, kesadaran itu belum cukup buatku benar-benar berubah. Setiap kali aku berpikir, "Ini titik baliknya, Di. Kali ini harus lebih baik," selalu ada saja hal yang membuatku kembali pada pola lama.
Aku sadar, kesalahanku adalah cerminan dari diriku sendiri---kebiasaan menunda, selalu merasa punya waktu, dan keinginan untuk merasa nyaman. Dan di sanalah masalah sebenarnya: aku belum cukup berani untuk keluar dari zona nyaman itu, bahkan ketika kesalahan itu mulai merenggut banyak hal dariku.
Akhirnya, aku tahu aku harus berubah. Tapi, seperti biasa, mungkin besok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H