Aku bukan orang yang gampang belajar dari kesalahan. Kata orang, kesalahan itu guru terbaik, tapi bagiku kesalahan itu seperti lingkaran setan yang terus menerus aku masuki. Setiap kali aku berpikir sudah keluar dari lingkaran itu, entah bagaimana, aku selalu terseret kembali ke dalamnya.
Namaku Ardi, dan aku terkenal di antara teman-temanku sebagai "si pelupa". Bukan karena aku sering lupa membawa kunci atau dompet, tapi karena aku selalu lupa belajar dari kesalahan-kesalahanku sendiri.
Seperti hari itu, ketika aku terlambat lagi ke kantor. Jam alarmku berbunyi seperti biasa, tapi jari-jariku terlalu lihai menekan tombol snooze tanpa aku sadari. Ketika akhirnya aku bangun, matahari sudah tinggi, dan aku langsung tersadar: aku mengulanginya lagi. Sudah kesekian kalinya aku terlambat ke kantor dalam dua bulan terakhir.
"Ardi, kapan lo mau berubah sih?" ucap Raka, teman sekantorku yang kebetulan melihatku terengah-engah masuk ruang kerja.
"Besok, bro. Besok gue pasti lebih disiplin," jawabku enteng sambil menyeringai. Aku tahu dia tidak akan percaya, karena aku sendiri pun tidak sepenuhnya yakin.
Hari berlalu, dan seperti bisa diduga, aku terlambat lagi besoknya. Kali ini karena terlalu asyik menonton serial TV sampai larut malam. Sepanjang perjalanan ke kantor, aku marah pada diriku sendiri. "Kenapa sih, Di? Apa susahnya bangun tepat waktu? Kenapa selalu ulangi kesalahan yang sama?"
Di kantor, bosku, Pak Bayu, memanggilku ke ruangannya. Wajahnya datar, tapi dari caranya menatapku, aku tahu dia sudah muak.
"Ardi, kamu pintar. Kreatif. Tapi kalau terus begini, kita harus bicara soal konsekuensi yang lebih serius."
Aku hanya bisa mengangguk. Di dalam hati, aku tahu dia benar. Tapi entah kenapa, selalu ada sesuatu yang membuatku menunda untuk berubah. Entah itu rasa malas, atau mungkin karena aku selalu berpikir, "Ah, nanti aja, masih ada waktu."
Hari-hari berikutnya tak jauh berbeda. Aku melakukan kesalahan demi kesalahan. Lupa janji dengan teman, menunda pekerjaan, dan tentu saja, terlambat lagi. Aku terus saja memutar lingkaran itu, sampai suatu hari, lingkaran itu mulai menghantam lebih keras dari biasanya.
Sore itu, aku punya janji dengan Lina, pacarku. Sudah hampir sebulan kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, dan Lina sangat antusias untuk makan malam bersama. Tapi aku? Aku malah terlambat lagi karena asyik nongkrong dengan teman-teman.