"Apa yang bisa aku bantu, Nak Arga?" tanyanya lembut.
"Aku ingin menjenguk Rara, Bu. Apakah dia... masih ada?" tanyanya, suaranya bergetar.
Ibu Rara hanya mengangguk pelan, lalu membawanya masuk ke dalam. Di kamar kecil di sudut rumah, Arga melihat Rara terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya masih sama, meski jauh lebih redup.
"Arga," bisiknya saat melihat pemuda itu masuk.
Arga tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Rara yang dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan.
"Arga, aku minta maaf. Aku tidak pernah bisa mengatakan ini sebelumnya," ucap Rara dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Aku mencintaimu, sejak lama. Tapi aku tahu, aku tak punya banyak waktu. Itulah kenapa aku minta kau buatkan kotak itu, untuk menyimpan kenangan tentangmu."
Arga terpaku, dadanya sesak oleh perasaan yang tak mampu ia jelaskan. Rara mengeluarkan sebuah surat dari bawah bantalnya dan menyerahkannya pada Arga. "Buka ini setelah aku pergi," katanya, matanya mulai terpejam.
Malam itu, Rara pergi untuk selamanya. Arga duduk di sampingnya, masih menggenggam tangan gadis yang dicintainya. Hatinya hancur, tetapi ia tahu Rara akhirnya bebas dari penderitaannya.
Esoknya, setelah upacara pemakaman yang sederhana, Arga pulang ke rumah dengan hati yang berat. Ia membuka surat dari Rara dengan tangan gemetar. Di dalamnya hanya ada beberapa kalimat yang ditulis dengan tangan lemah.
"Arga, cintaku padamu adalah rahasia yang aku simpan dalam-dalam. Mungkin kita tak bisa bersama di dunia ini, tapi ingatlah, cinta tak pernah benar-benar mati. Aku akan menunggumu, di sana, di tempat yang jauh dari sini."
Arga menyimpan surat itu di dalam kotak kayu yang ia buat untuk Rara. Setiap malam, ia membuka kotak itu, membaca surat yang sama berulang kali, merasakan kehadiran Rara di sekitarnya. Meskipun mereka tak pernah bisa bersama, Arga percaya bahwa cinta mereka akan bertemu di suatu tempat, di suatu waktu, di mana kematian bukan lagi penghalang.