Mohon tunggu...
Fajar setiono
Fajar setiono Mohon Tunggu... Buruh - copywriter

Selalu bersyukur atas apa yang kita dapatkan.Jangan pernah menyerah sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan.Selalu semangat dan pantang menyerah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekeping Harapan yang Terkoyak

29 Agustus 2024   09:17 Diperbarui: 29 Agustus 2024   09:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hiduplah seorang wanita bernama Maya. Dia adalah seorang penjahit yang sederhana, terkenal dengan keahliannya menjahit pakaian indah. Setiap potongan kain yang disentuhnya seolah memiliki kehidupan sendiri, menghasilkan gaun yang begitu memukau hingga orang-orang dari desa tetangga datang memesan darinya. Namun, ada satu misteri tentang Maya yang tidak pernah terungkap; dia tidak pernah terlihat mengenakan pakaian buatannya sendiri.

Maya hidup sendirian di sebuah rumah kecil yang terletak di pinggir desa, dikelilingi oleh pohon-pohon tua yang menaungi halamannya. Kehidupannya terlihat damai, namun di balik ketenangan itu, tersembunyi rasa sakit yang mendalam. Setiap malam, setelah semua pekerjaannya selesai, Maya akan membuka sebuah kotak tua yang disimpannya di bawah ranjangnya. Di dalam kotak itu, ada gaun putih polos yang sudah lusuh dimakan waktu. Gaun itu adalah satu-satunya peninggalan dari masa lalunya, sebuah kenangan pahit yang terus menghantuinya.

Dua puluh tahun yang lalu, Maya adalah seorang gadis muda yang penuh impian. Dia jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Bima, anak dari seorang petani di desa itu. Cinta mereka tumbuh seiring waktu, hingga pada suatu hari, Bima melamar Maya untuk menjadi istrinya. Maya begitu bahagia hingga dia menjahit gaun pengantin paling indah yang pernah dibuatnya, gaun putih dengan sulaman emas yang rumit, yang disiapkannya untuk hari spesial mereka.

Namun, takdir berkata lain. Sehari sebelum pernikahan mereka, Bima pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, namun dia tidak pernah kembali. Hujan turun deras malam itu, dan sungai di hutan meluap, menenggelamkan Bima dalam arus yang deras. Jasadnya tidak pernah ditemukan, hanya tersisa ingatan pahit bagi Maya. Sejak hari itu, Maya menyimpan gaun pengantin itu dalam kotak, tidak pernah mengenakannya, tidak pernah menjahit gaun lain untuk dirinya sendiri.

Waktu berlalu, namun luka di hati Maya tak pernah sembuh. Setiap jahitan yang dibuatnya untuk orang lain seolah-olah adalah upayanya untuk menjahit kembali hatinya yang robek, namun tidak ada benang yang cukup kuat untuk menyatukan retakan yang ada. Hingga pada suatu malam, dua puluh tahun setelah Bima pergi, Maya merasa sesuatu yang aneh. Dia bermimpi tentang Bima, namun kali ini dia tidak melihatnya tenggelam dalam air yang deras, melainkan melihatnya berdiri di tepi sungai, tersenyum kepadanya.

Maya terbangun dengan keringat dingin membasahi wajahnya. Mimpi itu terasa begitu nyata. Dengan hati yang berdebar, dia membuka kotak tua itu, menatap gaun putih yang kini telah menguning. Ada dorongan dalam dirinya yang tidak bisa ia jelaskan, sebuah keinginan yang mendesak untuk mengenakan gaun itu, sesuatu yang selama ini dia hindari.

Dengan tangan gemetar, Maya mengenakan gaun itu. Saat kain menyentuh kulitnya, air mata mulai mengalir di pipinya. Gaun itu terasa pas, seolah-olah menunggu momen ini selama dua puluh tahun. Dalam keheningan malam, Maya melangkah keluar rumah, menuju tepi hutan di mana sungai yang pernah merenggut Bima mengalir.

Setibanya di tepi sungai, Maya berhenti. Dia melihat bayangan Bima di air yang tenang, sama seperti dalam mimpinya. Maya mengulurkan tangan, merasakan kehangatan yang aneh dari bayangan itu. Air mata terus mengalir tanpa henti, namun senyum kecil muncul di bibirnya.

Namun, seiring detik berlalu, sungai yang tenang berubah menjadi arus yang kuat, menarik gaun putih itu ke dalam derasnya. Maya merasakan kekuatan yang tidak bisa dilawan, seolah-olah arus itu ingin membawanya bersama gaun tersebut. Tapi dia tidak merasa takut, sebaliknya, dia merasa damai.

Dalam keheningan malam, suara arus sungai menelan segalanya. Gaun itu, bersama Maya, hilang di bawah air. Ketika pagi tiba, hanya ada ketenangan di desa itu, seolah-olah malam sebelumnya hanyalah mimpi yang kabur. Tidak ada yang pernah melihat Maya lagi, namun di tepi sungai itu, bunga-bunga putih liar mulai tumbuh, seolah-olah alam sendiri memberikan perpisahan terakhir bagi seorang wanita yang hidup dalam cinta yang tak pernah terwujud.

Namun, bagi mereka yang percaya, Maya akhirnya menemukan damainya, di dalam pelukan kekasihnya, di dunia yang berbeda, jauh dari rasa sakit dan kehilangan yang pernah merobek hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun